Dalam era otonomi, sebenarnya terbuka
peluang besar untuk membangun dunia pendidikan di daerah menjadi lebih
berkualitas. Hal ini terjadi karena Kepala daerah memiliki kewenangan yang
penuh dalam menentukan kualitas pendidikan sesuai dengan konteks daerahnya. Jika
daerah cukup visioner, pengembangan sektor pendidikan akan memiliki peluang
yang besar untuk dapat memenuhi standar kualitas sesuai dengan harapan para
stakeholders. Manakala pemerintah daerah memiliki political will yang kuat
dan kemudian disertai dengan kebijakan dan sistem perencanaan yang
mengedepankan arti penting pendidikan sebagai upaya human investment di daerah, dapat dipastikan pendidikan di daerah
itu akan memiliki praksis yang baik, dan kualitas pendidikan akan dapat
ditegakkan. Namun sebaliknya, manakala pemerintah daerah memandang pendidikan
tidak penting, sehingga visi dan misi pendidikan di daerah itu tidak dirumuskan
secara jelas dalam sistem perencanaan yang baik, maka kemungkinan besar tidak
dapat diderivasikan menjadi praksis pendidikan yang solid. Jika hal ini
terjadi, praksis pendidikan akan berjalan secara tidak profesional. Kondisi
seperti ini akan mendorong para praktisi pendidikan di daerah kehilangan arah
dalam menjalankan fungsinya secara profesional. Oleh karena itu, di era otonomi
pendidikan dewasa ini merupakan saat yang menentukan membangun budaya
tatakelola pendidikan di daerah melalui pengembangan sistem perencanaan
pendidikan yang efektif.
Diakui atau tidak bahwa dalam
melaksanakan pembangunan pendidikan di daerah terkadang masih ditemukan fakta
yang saling bertentangan antara dimensi konsumtif dengan dimensi investatif. Sejak otonomi daerah, sesuai dengan tuntutan undang-undang,
semua kewenangan pengelolaan pendidikan, diserahkan kepada pemerintah daerah
melalui kepala daerah, bahkan kewenangan kepala daerah terhadap pendidikan
dasar dan menengah lebih besar dari kewenangan sebelum otonomi daerah.
Belakangan kewenangan yang sangat besar tersebut banyak menimbulkan persoalan
dan masalah. Mulai dari masalah rekrutmen guru yang sarat dengan KKN,
pengangkatan guru honor yang tidak ada standar khusus, promosi jabatan
wakil/kepala sekolah yang bernuansa politis, hingga pada pendistribusian dan
pemerataan guru antar daerah yang tidak proporsional dan professional. Pada pengangkatan/rekrutmen
guru (SD, SMP, SMA, dan SMK), karena sudah menjadi kewenangan kepala daerah,
sangat kental dengan nuansa KKN. Pada proses ini, seringkali para elite politik
dan kepala daerah melakukan intervensi, termasuk orang-orang atau pejabat yang
merupakan bagian dari tim sukses pemenangan pemilukada.
Persoalan berikutnya yang juga sangat memprihatinkan adalah
pengangkatan kepala sekolah. Walaupun sudah ada rambu-rambu Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 28 Tahun 2010, itu hanya mengatur
tentang rambu-rambu dan kriteria bagi calon kepala sekolah saja, mutasi kepala
sekolah tetap menjadi kewenangan kepala daerah masing-masing. Karena kepala
daerah diberikan kewenangan untuk hal itu, maka seringkali pengangkatan kepala
sekolah tidak didasarkan pada prestasi dan kinerja yang bersangkutan, tetapi
banyak dipengaruhi oleh factor nepotisme dan politik. Penerapan otonomi daerah
memicu politisasi sektor pendidikan yang mengakibatkan pendidikan di daerah
sulit berkembang.
"Sebenarnya
ada dua aspek otonomi daerah yang mempengaruhi sektor pendidikan yakni aspek
politis, seringnya tenaga guru menjadi korban politisasi elite di daerah, dan
aspek teknis." Selanjutnya, seringkali daerah terpencil atau daerah
pinggiran kota kekurangan tenaga guru. Sementara wilayah perkotaan atau daerah
yang dekat dengan wilayah kota kelebihan jumlah guru. Apabila dicermati lebih
lanjut, maka mayoritas guru yang mengajar di wilayah perkotaan memiliki
hubungan dan keterkaitan dengan para kepala daerah dan elit politik.
Berbagai isu tersebut di atas, menjadi pembicaraan masyarakat umum
di Provisinsi Maluku, terutama di lingkungan sekolah dan guru-guru, dan mungkin
juga di daerah lain. Tulisan ini akan memfokuskan pada pembahasan problematika
pendidikan di Maluku yang meliputi isu tentang rekrutmen guru yang sarat dengan
KKN, pengangkatan guru honor yang tidak ada standar khusus, promosi jabatan
kepala sekolah yang bernuansa politis, hingga pada pendistribusian dan
pemerataan guru antar daerah yang tidak proporsional dan professional. Dilihat dari
konten kebijakan, bahwa implementasi kebijakan bidang pendidikan di daerah
merupakan proses administrasi yang diharapkan dapat mengubah pelayanan
pendidikan yang lebih baik, lebih mudah, lebih murah dan lebih maju. Disatu
sisi memang birokrasi pelaksanaan pendidikan selama era otonomi daerah terasa
lebih mudah karena semua urusan birokrasi pendidikan dapat diselesaikan di
daerah, dan lebih murah karena semua biaya pendidikan (SD/SMP/SMA) milik daerah
(sekolah negeri) bisa ditekan lebih murah bahkan dapat diwujudkan sekolah
gratis.
Pada
era otonomi daerah ini pula muncul sekolah-sekolah unggulan. Artinya,
implementasi kebijakan bidang pendidikan di daerah dapat memicu akselerasi
kemajuan pendidikan di daerah. Berbagai penyimpangan yang terjadi selama ini
sebenarnya bukan merupakan kekeliruan pada tingkat formulasi kebijakan tentang
pendidikan di daerah, tetapi lebih disebabkan oleh pihak-pihak yang terlibat
pada sisi implementasi kebijakan itu sendiri. Misalnya dalam proses rekrutmen
guru. Aturan main dan rambu-rambu tentang syarat-syarat untuk bisa diangkat
sebagai guru sudah sangat jelas, undang-undang tentang guru dan dosen sudah diberlakukan,
peraturan pemerintah serta peraturan menteri pendidikan yang mengatur tentang
rekrutmen guru sudah lengkap. Akan tetapi pihak-pihak yang berwenang untuk
melaksanakan rekrutmen ini yang masih menjadi masalah. Kepentingan pribadi atau
golongan masih dominan, praktek kecurangan masih terus berjalan, nuansa KKN
dalam rekrutmen guru masih terasa kental. Artinya dari fakta tersebut, bukan
persoalan kebijakan yang bermasalah, tetapi orang/pejabat yang diberikan
kewenangan tentang hal tersebut yang harus diperbaiki dan dibenahi. Jadi, bila
dilihat dari konten kebijakan berdasarkan perspektif Grindle, maka proses
administrativ yang terkait dengan kepentingan kelompok sasaran, manfaat dari
kebijakan, adanya perubahan yang diharapkan terjadi ketika kebijakan implementasi,
pelaksana program yang kompeten dan kapabel, serta tersedianya berbagai sumber
daya yang diperlukan untuk menunjang kelancaran implementasi kebijakan, maka
implementasi kebijakan tentang pendidikan di daerah sesuai dengan tuntutan
pelaksanaan otonomi daerah, memang telah sesuai dengan tujuan yang diharapkan,
walaupun dalam realitasnya masih terdapat berbagai permasalahan seperti telah
dikemukakan.
Sementara
itu, bila dilihat dari implementasi kebijakan sebagai proses politik dipahami
sebagai context of implementation,
karena di dalam implementasi kebijakan terlibat berbagai kelompok kepentingan
yang memiliki power atau pengaruh dimana kebijakan itu diimplementasikan.
Kelompok kepentingan tersebut turut serta menjadi aktor yang mempengaruhi
keberhasilan implementasi kebijakan. Kelompok kepentingan dimaksud seperti:
tokoh adat, tokoh agama, politisi, dan LSM. dan lain-lain. Dengan keterlibatan
kelompok-kelompok kepentingan tersebut, diharapkan kelompok sasaran dapat
mengikuti atau patuh dan bertanggungjawab terhadap pencapaian tujuan dari
implementasi kebijakan. Pada sisi ini memang diakui bahwa keterlibatan berbagai
tokoh tersebut sangat kurang. Sehingga dengan kondisi demikian kepala daerah
dan elit politik sangat dominan dalam implementasi kebijakan bidang pendidikan
di daerah. Kewenangan dan keterlibatan dalam persoalan tersebut, memungkinkan
kedua actor ini (kepala daerah dan elit politik) banyak melakukan intervensi. Apabila
intervensi yang dilakukan sesuai dengan peraturan dan perundang undangan yang
berlaku, tentu akan memberikan dampak positif, tetapi bila melanggar aturan dan
bersembunyi di balik otoritas yang ada, tentu akan merugikan dunia pendidikan
di daerah.
Berkenaan
dengan itu semua, implementasi kebijakan berhasil atau tidak perlu dilakukan
evaluasi atau control untuk mengukur pencapaian tujuan kebijakan, baik program
aksi yang diimplementasikan, individu yang terlibat dan anggaran untuk
kelanjutan implementasi. Dalam pandangan Grindle, hal ini harus dilakukan
secara terus menerus bagai suatu system yang saling terkait meliputi Input-Process-Output dan Outcomes.
Artinya, kebijakan otonomi daerah dalam kaitannya dengan otonomi pendidikan
dapat memberikan dampak positif sekaligus negatif. Setidaknya ada 4 dampak
positif untuk mendukung kebijakan desentralisasi pendidikan, yaitu : 1) Peningkatan mutu, yaitu dengan kewenangan
yang dimiliki sekolah maka sekolah lebih leluasa mengelola dan memberdayakan
potensi sumber daya yang dimiliki; (2) Efisiensi Keuangan hal ini dapat dicapai
dengan memanfaatkan sumber-sumber pajak lokal dan mengurangi biaya operasional;
(3) Efisiensi Administrasi, dengan memotong mata rantai birokrasi yang panjang
dengan menghilangkan prosedur yang bertingkat-tingkat;(4) Perluasan dan
pemerataan, membuka peluang penyelenggaraan pendidikan pada daerah pelosok sehingga
terjadi perluasan dan pemerataan pendidikan. Implementasi kebijakan otonomi
daerah bidang pendidikan memang menghadapi berbagai masalah, baik dilihat dari
konten maupun konteks kebijakan itu sendiri. Masalah yang timbul tersebut bukan
pada kebijakan itu sendiri, tetapi lebih mengarah kepada pelaksana kebijakan di
lapangan, terutama adanya intervensi dari pejabat politik di daerah. Terutama menyangkut
hal-hal sebagai berikut: (1) rekrutmen guru yang sarat dengan KKN; (2) promosi
jabatan kepala sekolah yang bernuansa politis; dan (3) pendistribusian dan
pemerataan guru antar daerah yang tidak proporsional dan professional.
Gambaran tersebut, memang tidak terlepas
dari kondisi SDM pemerintah itu sendiri. Kalau kita mau jujur, profesionalisme
ketenagaan pada tatanan jabatan politispun, secara umum masih lebih rendah bila
dibandingkan dengan tatanan jabatan di lingkungan eksekutif. Pada tatanan
jabatan politis masih belum mampu secara seimbang memahami apa yang menjadi
tugas pokok yang melekat pada jabatannya maupun wawasan yang menjadi bidang
garapan pembangunan pendidikan. Sehingga, setiap menentukan kebijakan dan
program-program pembangunan pendidikan, antara pihak eksekutif dan legislatif
masih tidak ada kesepahaman. Program-program pembangunan pendidikan di tingkat
daerah yang diajukan pihak eksekutif gagal dilaksanakan, karena terbentur
kepentingan golongan politik para anggota legislatif yang tidak menguasai dan
memahami substansi pembangunan pendidikan. Atau sebaliknya, program-program
pembangunan pendidikan yang diajukan pihak eksekutif hanya bersifat rutinitas,
tidak strategis, kurang menyentuh permasalahan yang membutuhkan pemecahan
segera. Sehingga, pada saat diajukan ke pihak legislatif pun tidak ada
masukan-masukan yang berarti. Belum lagi, ketika proses pengajuan
program-program pembangunan pendidikan itu pada saat mendapat persetujuan pihak
eksekutif di bidang penganggaran.
Eksekutif
bagian ini pun masih kurang memahami dan menguasai substansi program-program
pendidikan mana yang harus mendapat pembiayaan yang memadai, apalagi sampai
kepada beban kerja setiap unit program pelaksana yang harus dibiayai. Akhirnya,
perencanaan program hanya diputuskan berdasarkan negosiasi “politik” antara pihak instansi teknis dengan segolongan anggota
DPR dan instansi teknis dengan instansi yang mengurus anggaran.
Bahwa pelaksanaan program-program
pembangunan di daerah termasuk pendidikan lima tahun terahir, pihak eksekutif
pun masih dihadapkan pada kemampuan teknis dan moralitas yang rendah. Di
samping pengaruh tekanan-tekanan pihak legislatif yang ikut “bermain” pada tatanan eksekutif, juga
karena desakan para rekanan-rekanan dalam pelaksanaan program yang harus banyak
melibatkan pihak-pihak swasta dan lembaga-lembaga keswadayaan dalam masyarakat.
Ahirnya, banyak terjadi penyimpangan, kesalahan prosedur, bahkan banyak program
yang sudah ditetapkan tidak dapat dilaksanakan, banyak sisa anggaran dan
anggaran dikembalikan atau dihabiskan dengan pelaksanaan program alakadarnya.
Pada tatanan pengawasan pembangunan, walaupun berhasil mengungkap berbagai
bentuk korupsi dan penyimpangan, namun temuan-temuan tersebut belum menyeluruh
sampai kepada akar permasalahannya. Bahkan, instansi ini masih dituding kompromistis
Apa sebenarnya kekeliruan yang terjadi
dalam dunia pendidikan di daerah ini, sehingga tujuan esensial pendidikan yang
seharusnya memampukan manusia dan memanusiakan manusia, ternyata justru
melahirkan hasil-hasil yang kontra-produktif. Pada konteks ini, mau tidak mau,
suka atu tidak suka, yang harus dilakukan dan dibutuhkan adalah kesediaan
pemerintah daerah dan masyarakat untuk menakar ulang tujuan-tujuan pembangunan
dan perkembangan dunia pendidikan yang tampaknya mulai salah arah.
wah baru luncurkan Blog baru nih,....sip
BalasHapusluar biasa pa anes
BalasHapus