Kamis, 15 November 2012

PROBLEMATIKA PENDIDIKAN MALUKU (Sebuah Telaah Untuk Guburnur Kedepan)



Dalam era otonomi, sebenarnya terbuka peluang besar untuk membangun dunia pendidikan di daerah menjadi lebih berkualitas. Hal ini terjadi karena Kepala daerah memiliki kewenangan yang penuh dalam menentukan kualitas pendidikan sesuai dengan konteks daerahnya. Jika daerah cukup visioner, pengembangan sektor pendidikan akan memiliki peluang yang besar untuk dapat memenuhi standar kualitas sesuai dengan harapan para stakeholders. Manakala pemerintah daerah memiliki political will yang kuat dan kemudian disertai dengan kebijakan dan sistem perencanaan yang mengedepankan arti penting pendidikan sebagai upaya human investment di daerah, dapat dipastikan pendidikan di daerah itu akan memiliki praksis yang baik, dan kualitas pendidikan akan dapat ditegakkan. Namun sebaliknya, manakala pemerintah daerah memandang pendidikan tidak penting, sehingga visi dan misi pendidikan di daerah itu tidak dirumuskan secara jelas dalam sistem perencanaan yang baik, maka kemungkinan besar tidak dapat diderivasikan menjadi praksis pendidikan yang solid. Jika hal ini terjadi, praksis pendidikan akan berjalan secara tidak profesional. Kondisi seperti ini akan mendorong para praktisi pendidikan di daerah kehilangan arah dalam menjalankan fungsinya secara profesional. Oleh karena itu, di era otonomi pendidikan dewasa ini merupakan saat yang menentukan membangun budaya tatakelola pendidikan di daerah melalui pengembangan sistem perencanaan pendidikan yang efektif.
Diakui atau tidak bahwa dalam melaksanakan pembangunan pendidikan di daerah terkadang masih ditemukan fakta yang saling bertentangan antara dimensi konsumtif dengan dimensi investatif. Sejak otonomi daerah, sesuai dengan tuntutan undang-undang, semua kewenangan pengelolaan pendidikan, diserahkan kepada pemerintah daerah melalui kepala daerah, bahkan kewenangan kepala daerah terhadap pendidikan dasar dan menengah lebih besar dari kewenangan sebelum otonomi daerah. Belakangan kewenangan yang sangat besar tersebut banyak menimbulkan persoalan dan masalah. Mulai dari masalah rekrutmen guru yang sarat dengan KKN, pengangkatan guru honor yang tidak ada standar khusus, promosi jabatan wakil/kepala sekolah yang bernuansa politis, hingga pada pendistribusian dan pemerataan guru antar daerah yang tidak proporsional dan professional. Pada pengangkatan/rekrutmen guru (SD, SMP, SMA, dan SMK), karena sudah menjadi kewenangan kepala daerah, sangat kental dengan nuansa KKN. Pada proses ini, seringkali para elite politik dan kepala daerah melakukan intervensi, termasuk orang-orang atau pejabat yang merupakan bagian dari tim sukses pemenangan pemilukada.
Persoalan berikutnya yang juga sangat memprihatinkan adalah pengangkatan kepala sekolah. Walaupun sudah ada rambu-rambu Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 28 Tahun 2010, itu hanya mengatur tentang rambu-rambu dan kriteria bagi calon kepala sekolah saja, mutasi kepala sekolah tetap menjadi kewenangan kepala daerah masing-masing. Karena kepala daerah diberikan kewenangan untuk hal itu, maka seringkali pengangkatan kepala sekolah tidak didasarkan pada prestasi dan kinerja yang bersangkutan, tetapi banyak dipengaruhi oleh factor nepotisme dan politik. Penerapan otonomi daerah memicu politisasi sektor pendidikan yang mengakibatkan pendidikan di daerah sulit berkembang.
"Sebenarnya ada dua aspek otonomi daerah yang mempengaruhi sektor pendidikan yakni aspek politis, seringnya tenaga guru menjadi korban politisasi elite di daerah, dan aspek teknis." Selanjutnya, seringkali daerah terpencil atau daerah pinggiran kota kekurangan tenaga guru. Sementara wilayah perkotaan atau daerah yang dekat dengan wilayah kota kelebihan jumlah guru. Apabila dicermati lebih lanjut, maka mayoritas guru yang mengajar di wilayah perkotaan memiliki hubungan dan keterkaitan dengan para kepala daerah dan elit politik.
Berbagai isu tersebut di atas, menjadi pembicaraan masyarakat umum di Provisinsi Maluku, terutama di lingkungan sekolah dan guru-guru, dan mungkin juga di daerah lain. Tulisan ini akan memfokuskan pada pembahasan problematika pendidikan di Maluku yang meliputi isu tentang rekrutmen guru yang sarat dengan KKN, pengangkatan guru honor yang tidak ada standar khusus, promosi jabatan kepala sekolah yang bernuansa politis, hingga pada pendistribusian dan pemerataan guru antar daerah yang tidak proporsional dan professional. Dilihat dari konten kebijakan, bahwa implementasi kebijakan bidang pendidikan di daerah merupakan proses administrasi yang diharapkan dapat mengubah pelayanan pendidikan yang lebih baik, lebih mudah, lebih murah dan lebih maju. Disatu sisi memang birokrasi pelaksanaan pendidikan selama era otonomi daerah terasa lebih mudah karena semua urusan birokrasi pendidikan dapat diselesaikan di daerah, dan lebih murah karena semua biaya pendidikan (SD/SMP/SMA) milik daerah (sekolah negeri) bisa ditekan lebih murah bahkan dapat diwujudkan sekolah gratis.
Pada era otonomi daerah ini pula muncul sekolah-sekolah unggulan. Artinya, implementasi kebijakan bidang pendidikan di daerah dapat memicu akselerasi kemajuan pendidikan di daerah. Berbagai penyimpangan yang terjadi selama ini sebenarnya bukan merupakan kekeliruan pada tingkat formulasi kebijakan tentang pendidikan di daerah, tetapi lebih disebabkan oleh pihak-pihak yang terlibat pada sisi implementasi kebijakan itu sendiri. Misalnya dalam proses rekrutmen guru. Aturan main dan rambu-rambu tentang syarat-syarat untuk bisa diangkat sebagai guru sudah sangat jelas, undang-undang tentang guru dan dosen sudah diberlakukan, peraturan pemerintah serta peraturan menteri pendidikan yang mengatur tentang rekrutmen guru sudah lengkap. Akan tetapi pihak-pihak yang berwenang untuk melaksanakan rekrutmen ini yang masih menjadi masalah. Kepentingan pribadi atau golongan masih dominan, praktek kecurangan masih terus berjalan, nuansa KKN dalam rekrutmen guru masih terasa kental. Artinya dari fakta tersebut, bukan persoalan kebijakan yang bermasalah, tetapi orang/pejabat yang diberikan kewenangan tentang hal tersebut yang harus diperbaiki dan dibenahi. Jadi, bila dilihat dari konten kebijakan berdasarkan perspektif Grindle, maka proses administrativ yang terkait dengan kepentingan kelompok sasaran, manfaat dari kebijakan, adanya perubahan yang diharapkan terjadi ketika kebijakan implementasi, pelaksana program yang kompeten dan kapabel, serta tersedianya berbagai sumber daya yang diperlukan untuk menunjang kelancaran implementasi kebijakan, maka implementasi kebijakan tentang pendidikan di daerah sesuai dengan tuntutan pelaksanaan otonomi daerah, memang telah sesuai dengan tujuan yang diharapkan, walaupun dalam realitasnya masih terdapat berbagai permasalahan seperti telah dikemukakan.
Sementara itu, bila dilihat dari implementasi kebijakan sebagai proses politik dipahami sebagai context of implementation, karena di dalam implementasi kebijakan terlibat berbagai kelompok kepentingan yang memiliki power atau pengaruh dimana kebijakan itu diimplementasikan. Kelompok kepentingan tersebut turut serta menjadi aktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan. Kelompok kepentingan dimaksud seperti: tokoh adat, tokoh agama, politisi, dan LSM. dan lain-lain. Dengan keterlibatan kelompok-kelompok kepentingan tersebut, diharapkan kelompok sasaran dapat mengikuti atau patuh dan bertanggungjawab terhadap pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan. Pada sisi ini memang diakui bahwa keterlibatan berbagai tokoh tersebut sangat kurang. Sehingga dengan kondisi demikian kepala daerah dan elit politik sangat dominan dalam implementasi kebijakan bidang pendidikan di daerah. Kewenangan dan keterlibatan dalam persoalan tersebut, memungkinkan kedua actor ini (kepala daerah dan elit politik) banyak melakukan intervensi. Apabila intervensi yang dilakukan sesuai dengan peraturan dan perundang undangan yang berlaku, tentu akan memberikan dampak positif, tetapi bila melanggar aturan dan bersembunyi di balik otoritas yang ada, tentu akan merugikan dunia pendidikan di daerah.
Berkenaan dengan itu semua, implementasi kebijakan berhasil atau tidak perlu dilakukan evaluasi atau control untuk mengukur pencapaian tujuan kebijakan, baik program aksi yang diimplementasikan, individu yang terlibat dan anggaran untuk kelanjutan implementasi. Dalam pandangan Grindle, hal ini harus dilakukan secara terus menerus bagai suatu system yang saling terkait meliputi Input-Process-Output dan Outcomes. Artinya, kebijakan otonomi daerah dalam kaitannya dengan otonomi pendidikan dapat memberikan dampak positif sekaligus negatif. Setidaknya ada 4 dampak positif untuk mendukung kebijakan desentralisasi pendidikan, yaitu :  1) Peningkatan mutu, yaitu dengan kewenangan yang dimiliki sekolah maka sekolah lebih leluasa mengelola dan memberdayakan potensi sumber daya yang dimiliki; (2) Efisiensi Keuangan hal ini dapat dicapai dengan memanfaatkan sumber-sumber pajak lokal dan mengurangi biaya operasional; (3) Efisiensi Administrasi, dengan memotong mata rantai birokrasi yang panjang dengan menghilangkan prosedur yang bertingkat-tingkat;(4) Perluasan dan pemerataan, membuka peluang penyelenggaraan pendidikan pada daerah pelosok sehingga terjadi perluasan dan pemerataan pendidikan. Implementasi kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan memang menghadapi berbagai masalah, baik dilihat dari konten maupun konteks kebijakan itu sendiri. Masalah yang timbul tersebut bukan pada kebijakan itu sendiri, tetapi lebih mengarah kepada pelaksana kebijakan di lapangan, terutama adanya intervensi dari pejabat politik di daerah. Terutama menyangkut hal-hal sebagai berikut: (1) rekrutmen guru yang sarat dengan KKN; (2) promosi jabatan kepala sekolah yang bernuansa politis; dan (3) pendistribusian dan pemerataan guru antar daerah yang tidak proporsional dan professional.
Gambaran tersebut, memang tidak terlepas dari kondisi SDM pemerintah itu sendiri. Kalau kita mau jujur, profesionalisme ketenagaan pada tatanan jabatan politispun, secara umum masih lebih rendah bila dibandingkan dengan tatanan jabatan di lingkungan eksekutif. Pada tatanan jabatan politis masih belum mampu secara seimbang memahami apa yang menjadi tugas pokok yang melekat pada jabatannya maupun wawasan yang menjadi bidang garapan pembangunan pendidikan. Sehingga, setiap menentukan kebijakan dan program-program pembangunan pendidikan, antara pihak eksekutif dan legislatif masih tidak ada kesepahaman. Program-program pembangunan pendidikan di tingkat daerah yang diajukan pihak eksekutif gagal dilaksanakan, karena terbentur kepentingan golongan politik para anggota legislatif yang tidak menguasai dan memahami substansi pembangunan pendidikan. Atau sebaliknya, program-program pembangunan pendidikan yang diajukan pihak eksekutif hanya bersifat rutinitas, tidak strategis, kurang menyentuh permasalahan yang membutuhkan pemecahan segera. Sehingga, pada saat diajukan ke pihak legislatif pun tidak ada masukan-masukan yang berarti. Belum lagi, ketika proses pengajuan program-program pembangunan pendidikan itu pada saat mendapat persetujuan pihak eksekutif di bidang penganggaran.
Eksekutif bagian ini pun masih kurang memahami dan menguasai substansi program-program pendidikan mana yang harus mendapat pembiayaan yang memadai, apalagi sampai kepada beban kerja setiap unit program pelaksana yang harus dibiayai. Akhirnya, perencanaan program hanya diputuskan berdasarkan negosiasi “politik” antara pihak instansi teknis dengan segolongan anggota DPR dan instansi teknis dengan instansi yang mengurus anggaran.
Bahwa pelaksanaan program-program pembangunan di daerah termasuk pendidikan lima tahun terahir, pihak eksekutif pun masih dihadapkan pada kemampuan teknis dan moralitas yang rendah. Di samping pengaruh tekanan-tekanan pihak legislatif yang ikut “bermain” pada tatanan eksekutif, juga karena desakan para rekanan-rekanan dalam pelaksanaan program yang harus banyak melibatkan pihak-pihak swasta dan lembaga-lembaga keswadayaan dalam masyarakat. Ahirnya, banyak terjadi penyimpangan, kesalahan prosedur, bahkan banyak program yang sudah ditetapkan tidak dapat dilaksanakan, banyak sisa anggaran dan anggaran dikembalikan atau dihabiskan dengan pelaksanaan program alakadarnya. Pada tatanan pengawasan pembangunan, walaupun berhasil mengungkap berbagai bentuk korupsi dan penyimpangan, namun temuan-temuan tersebut belum menyeluruh sampai kepada akar permasalahannya. Bahkan, instansi ini masih dituding kompromistis
Apa sebenarnya kekeliruan yang terjadi dalam dunia pendidikan di daerah ini, sehingga tujuan esensial pendidikan yang seharusnya memampukan manusia dan memanusiakan manusia, ternyata justru melahirkan hasil-hasil yang kontra-produktif. Pada konteks ini, mau tidak mau, suka atu tidak suka, yang harus dilakukan dan dibutuhkan adalah kesediaan pemerintah daerah dan masyarakat untuk menakar ulang tujuan-tujuan pembangunan dan perkembangan dunia pendidikan yang tampaknya mulai salah arah.

Tulisan ini berdasarkan realita dan problematika pendidikan di Maluku dan diharapkan menjadi pijakan bagi Gubernur Maluku kedepan untuk memiliki komitmen mengembangkan pendidikan di daerah ini dan melakukan Revitalisasi Sistem Pendidikan Demi Masa depan Anak-Anak Negeri.

2 komentar: