Tidak
dapat dipungkiri bahwa dunia pendidikan selalu terkait dan terikat dengan aneka
dimensi lain dalam kehidupan masyarakat, seperti sosial, budaya, ekonomi, dan
politik. Keterkaitan diantara mereka tersebut mengalami fluktuasi menuju pada
pola hubungan saling mempengaruhi antar mereka dengan intensitas yang amat
bervariasi . Lebih-lebih terhadap dimensi kehidupan politik, keterkaitan
praktek penyelenggaraan pendidikan dengannya mencakup segenap lini termasuk
pada wilayah yang amat penting yaitu kekuasaan. Sebagai suatu kawasan yang
terkait dan terikat dengan kekuasaan, maka
pendidikan tidak bisa dianggap sebagai kawasan yang bersifat ‘sui generis’. Dalam pandangan
positif, kawasan pendidikan merupakan suatu kawasan yang membutuhkan campur
tangan kekuasaan agar dapat dioptimalkan menjadi lebih baik; Namun dalam
pandangan negatif, persinggungan pendidikan dengan kekuasaan selalu berujung
pada pemanfaatan pendidikan demi kepentingan penguasa.
Sejak
tahun 2004 pemerintah mengeluarkan regulasi baru berupa Undang-Undang Nomor 32
tahun 2004 tentang otonomi daerah yang menuntut pembangunan pendidikan dioptimalkan
di daerah. Konsekuensi atas hadirnya undang-undang tersebut, maka peran bupati dan
walikota diharapkan lebih kokoh dalam melaksanaan otonomi pendidikan deng an
mengacu pada empat argumen pokok dalam membuat kebijakan pendidikan, yakni: 1)
peningkatan mutu; 2) efisiensi keuangan; 3) efisien administrasi; dan 4)
perluasan kesempatan pendidikan. Wewenang paling besar untuk sektor pendidikan
sejak dari prasekolah sampai pendidikan menengah atas merupakan urusan
pemerintah kabupaten atau kota. Oleh karena itu, dengan daerah diberi
kesempatan membuat grand design yang secara kontekstual sesuai dengan kondisi
wilayahnya, diharapkan terjadi peningkatan mutu pendidikan lebih cepat dan
tepat. Sejalan dengan desentralisasi pendidikan, daerah tingkat Kabupaten dan
Kota memiliki kewenangan untuk menggarap pengembangan pendidikan sesuai dengan
kontek, potensi, dan kebutuhan masyarakat di daerah tersebut. Sementara itu,
penerapan desentralisasi pendidikan disertai dengan penataan fungsi kelembagaan
pendidikan mulai dari Dinas Pendidikan di tingkat propinsi sebagai pihak yang
mempunyai kewenangan dalam perumus dan pelaksana kebijakan, Dinas Pendidikan
Kabupaten dan Kota sebagai operasionalisasi kebijakan dan lembaga-lembaga pendidikan
dan pelatihan sebagai kontrol terhadap kualitas pengembangan profesionalitas
pendidikan. Dalam kenyataaannya, fungsi ini belum berjalan sebagaimana
mestinya. Hal itu dikarenakan pemahaman dan kesiapan sebagian besar pengelola
pendidikan di daerah terhadap konsep desentralisasi pendidikan belum memadai. Salah
satu isu strategis dengan desentralisasi pendidikan adalah perlu diupayakan Pemerintah
Daerah yang dapat memberikan pelayanan pendidikan kepada masyarakat di bidang
pendidikan lebih baik.
Implementasi
desentralisasi pendidikan amat mementingkan The Stakeholder Society, yang
oleh Ackerman dan Alscott, diformulasikan secara sederhana, yakni sebagai
masyarakat yang para anggotanya mempunyai kepentingan bersama untuk membangun
masyarakatnya sendiri. Terdapat lima aktor dalam the stakeholder society,
yaitu: 1) masyarakat lokal; 2) orangtua; 3) peserta didik; 4) negara; 5)
pengelola profesional pendidikan. Fungsi negara bukan lagi sebagai penguasa
juga bukan sebagai pemegang kekuasaan tunggal yang bertujuan melestarikan
kekuasaan negara, tetapi sebagai partner yang memfasilitasi proses
pendidikan yang disepakati bersama. Tugas negara antara lain membantu adanya
standar nasional bahkan internasional dari lembaga-lembaga pendidikan dan
membantu daerah yang kekurangan sumber daya manusia dan sumber pembiayaan. Oleh
karenanya, kebijakan desentralisasi pendidikan diyakini dapat berdampak secara
positif dalam banyak hal. Di antara dampak positif yang diyakini dapat
diperoleh dari kebijakan desentralisasi pendidikan adalah peningkatan mutu,
efisien keuangan, efisien administrasi, dan perluasan kesempatan atau
pemerataan pendidikan Namun realitasnya, ketika desentralisasi pendidikan telah
diterapkan banyak menunjukkan masalah.
Adanya
beberapa masalah dalam penerapan desentralisasi pendidikan. Paling tidak ada
empat masalah penerapan desentralisasi pendidikan yang ditemukan. Pertama, peraturan-peraturan
otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan yang ada belum sepenuhnya dapat
mendukung terimplementasikan paradigma dan model manajemen partisipatif
berpusat kekuatan daerah otonom. Kedua, belum semua daerah otonom
memiliki persepsi, tafsir, dan komitmen yang sama dan konstruktif untuk
reformasi dan pembaharuan manajemen pendidikan. Ketiga, budaya birokrasi
dan pemerintahan yang berkembang selama berlangsungnya otonomi daerah justru
sangat segregatif dan involutif, dalam arti hanya mementingkan kepenting an
daerah otonomnya sendiri dan memperumit manajemen lingkungan daerah otonom. Keempat,
masih lemahnya koordinasi dan sinergi antar daerah otonom dalam manajemen
pend idikan. Dari empat kelemahan di atas, proses penyelenggaraan pendidikan
dewasa ini telah berlangsung secara parokial dan involutif. Proses parokialisme
dan involusi dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut kemudian menciptakan apa
yang dikenal dengan ‘sentralisme lokal’ dan ‘regulasi kaku’.
Realitas Pendidikan Maluku
Berbagai persoalan dan fenomena yang
terjadi dalam dunia pendidikan di negeri seribu pulau ini di sebabkan oleh lemahnya
fungsi kontrol, pengawasan serta monitoring Pemerintah Provinsi terhadap dunia
pendidikan dan terjadi di hampir seluruh kabupaten di Provinsi tercinta ini
sehingga alokasi dana pendidikan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) banyak
disalahgunakan oleh Para pengambil kebijakan. Berbagai fakta diantaranya; Kasus Korupsi dana Alokasi khusus (DAK)
Pendidikan Kabupaten MTB tahun 2011-2012 sekitar 7,42 Milyar; Keterlambatan pembayaran Dana sertifikasi guru di hampir seluruh
kabupaten; Keterbatasan
infrastruktur (sarana dan Prasarana) di Maluku terkait dengan peningkatan
kualitas pendidikan, khususnya sebagai wilayah kepulauan. Orientasi penggunaan
dana pendidikan oleh masing-masing PEMDA lebih mengutamakan program-program
fisik ketimbang pengembangan kapasitas sumber daya manusia yang mengakibatkan
Prioritas
Kebijakan Pendidikan Meliputi:
Pemerataan dan
perluasan akses
Secara
umum, kebijakan pemerataan dan perluasan akses pendidikan diarahkan untuk
memperluas daya tampung satuan pendidikan sesuai dengan prioritas nasional,
serta memberikan kesempatan yang sama bagi semua peserta didik dari berbagai
golongan masyarakat yang berbeda baik secara ekonomi, gender, lokasi tempat
tinggal dan tingkat kemampuan intelektual serta kondisi fisik. Kebijakan ini
bertujuan untuk meningkatkan kapasitas penduduk Indonesia untuk dapat belajar
sepanjang hayat dalam rangka mewujudkan sumberdaya manusia yang handal, profesional,
dan berdaya saing tinggi dalam era global.
Mutu, relevansi, dan daya saing
Peningkatan
mutu, relevansi dan daya saing pendidikan juga merupakan fokus kebijakan
strategis pendidikan, yang diharapkan mampu memberikan dampak bagi bangsa
sehingga mampu berinteraksi dan dapat hidup bersama dalam keragaman sosial dan
budaya, serta meningkatkan taraf hidup dan memiliki daya saing yang tinggi,
yang tercermin dalam penghayatan dan pengamalan nilai-nilai iman, taqwa, akhlak
mulia, etika, kepribadian tangguh, kualitas fisik, serta memiliki wawasan
kebangsaan yang tinggi. Upaya meningkatkan mutu, relevansi dan daya saing pendidikan,
antara lain dilakukan melalui penetapan dan pemberlakuan Standar Nasional Pendidikan
(SNP) yang merupakan standar atau acuan dalam upaya meningkatkan mutu
pendidikan, yang meliputi beberapa komponen, yaitu (1) standar isi, (2) standar
proses, (3) standar komptensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga
kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana (6) standar pengelolaan, (7)
standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian pendidikan; dan peningkatan mutu
dan relevansi secara berkelanjutan dilaksanakan pemerintah daerah, dan satuan
pendidikan secara terpadu yang pengelolaannya dikoordinasikan secara terpusat.
Governance, akuntabilitas, dan pencitraan publik
Kebijakan
governance dan akuntabilitas meliputi sistem pembiayaan berbasis kinerja,
baik di tingkat satuan pendidikan maupun pemerintah daerah, dan manajemen
berbasis sekolah, untuk membantu pemerintah daerah dalam mengalokasikan
sumberdaya serta memonitor kinerja pendidikan secara keseluruhan. Selain itu,
peran serta masyarakat dalam perencanaan, pengelolaan, dan pengawasan kinerja pendidikan
ditingkatkan melalui peran komite sekolah/satuan pendidikan dan dewan
pendidikan. Tekad pemerintah untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan
bebas KKN serta memberikan pelayanan yang lebih bermutu, efektif, dan efisien
sesuai kebutuhan masyarakat dan tuntutan perkembangan jaman. Pemerintahan yang bersih
dari KKN diwujudkan melalui internalisasi etos kerja serta disiplin kerja yang
tinggi sebagai bentuk akuntabilitas aparatur negara serta perwujudan profesionalisme
aparatur, meningkatkan efisiensi dan
mutu layanan, diperlukan pengembangan kapasitas
daerah serta penataan governance pendidikan yang sehat dan akuntabel,
baik pada tingkat satuan pendidikan maupun tingkat kabupaten/kota.
Prinsip-Prinsip
Pengembangan Kebijakan Pendidikan Oleh Pemerintah Daerah
Dalam
mengembangkan kebijakan pendidikan, perlu dipertimbangkan prinsip-prinsip
sebagai berikut:
1) Belajar dari pengalaman masa lalu (lesson learned)
Pengalaman
masa lalu, baik positif maupun negatif, merupakan hal penting dan perlu
dipertimbangkan dalam merumuskan dan menentukan kebijakan, sehingga dapat
dirumuskan langkah-langkah antisipasi, pananggulangan dan alternatif solusi
atas berbagai permasalahan dan kendala yang mungkin dihadapi, serta upaya-upaya
yang mengarah pada perbaikan dan meningkatkan kinerja dan mutu di masa
mendatang. Tanpa belajar dari pengalaman masa lalu, sangat mungkin kebijakan
pendidikan yang diambil akan mengalami kendala seperti yang dialami sebelumnya,
dan hasil/dampaknya pun tak akan jauh berbeda dari hasil yang pernah dicapai;
2)
Berkesinambungan
Kebijakan
hendaknya merupakan kesinambungan dari kebijakan sebelumnya, sehingga terjadi
kesinambungan arah dan tujuan. Upaya peningkatan atau perbaikan tidak selamanya
harus bermula dari nol, melainkan dilakukan dengan mempertimbangkan aspek-aspek
positif untuk dipertahankan dan jika perlu dikembangkan, dan mengurangi serta
mencari alternatif solusi dari aspek- aspek negatif yang berpotensi sebagai
penghambat.
3)
Orientasi global dan masa mendatang
Kebijakan
pendidikan hendaknya berorientasi pada kondisi dan persaingan global, dan mampu
mengantisipasi kebutuhan, tantangan, dan perkembangan di masa mendatang. Jika
hal ini tidak diperhatikan, dampak dari kebijakan ini tak akan mampu mengatrol
mutu pendidikan yang tercermin dari
sumberdaya yang handal, profesional, dan berdaya saing tinggi dalam era global.
Jika hal ini, yang terjadi bukan tidak mungkin peringkat Indek Pembangunan
Manusia Indonesia tetap pada urutan bawah, dan bahkan semakin merosot;
4)
Jaminan dan kepastian hukum
Kebijakan yang dirumuskan, perlu disertai
jaminan dan kepastian hukum yang akan mendukung implementasi kebijakan
tersebut. Jika tidak, kebijakan sebaik apapun akan menghadapi kendala dan
hambatan karena tak ada jaminan hukum yang mengatur dalam implementasinya.
Sayangnya pola dan orientasi penganggaran pendidikan masih insedetil dan instan(perlu-tidak) bukan investasi yg bersifat jangka panjang. Subur nya pola kepemimpinan pragmatisme oleh para pemegang kekuasaan di Maluku masih menyala-nyala, kayaknya masih sulit mendapatkan pemimpin Maluku yg benar-benar tulus dan ikhlas mau berbuat (pendidikan)untuk seanteru orang Maluku.Selama ini hanya karena kesadaran para guru di masing2 lembaga pendidikannya, bukan karena sepenuhnya kebijakan penguasa Maluku.
BalasHapusOrang Maluku pada dasarnya adalah manusia jenius, tergantung seperti apa pengembangannya melalui lembaga pendidikan yg utuhnya menjadikan hasil didik benar2 menjadi manusia Maluku yg cerdas dan tentu bisa balik berkontribusi terhadap Maluku di masa depan. Entahlah. Salam voor saudaraku Janes Pelamonia. Tulisan anda cukup menggugah nurani.