Harapan vs Kenyataan
Pengelolaan pendidikan tinggi, termasuk
PGSD, seringkali terjebak pada konflik perspektif dan prioritas antara kualitas akademik dengan tuntutan
pasar. Pilihan orientasi tersebut dipandang
sebagai trade-off antara mengutamakan kualitas atau menyerah pada tuntutan
pasar. Dengan alasan legal-konstitusional,
tuntutan pasar yang besar, dan kebutuhan pemasukan dana operasional, perguruan
tinggi, seringkali menyelenggarakan program-program pendidikan tanpa
memperhatikan standar kualitas yang ditetapkan. Perspektif kualitas mempersyaratkan
standar input, pengelolaan (proses) dan output yang sejalan dengan
prinsip-prinsip pembentukan kompetensi profesional Guru SD. Kebutuhan Guru SD
di masyarakat dari tahun ke tahun meningkat sejalan dengan semakin besarnya
jumlah guru pensiun, dan penambahan rombongan belajar (rombel), ruang kelas
(RK) atau unit gedung baru (UGB).
Hasil perhitungan pensiunan guru yang
bersumber dari data individual guru di BKN menunjukkan bahwa guru yang akan
pensiun di tahun 2006 sampai dengan 2015 menunjukkan trend yang semakin besar, dengan rata-rata 25,34% per tahun.
Sementara itu Dirjen PMPTK menyampaikan bahwa pada tahun 2006 total kebutuhan
guru diperkirakan sebanyak 218.838 orang. Kebutuhan yang paling banyak adalah
untuk satuan pendidikan SD sebanyak 107.461 orang (49,11 persen) dan yang
paling sedikit TK sebanyak 1.340 orang (0,61 persen). Puncak Guru SD yang akan
pensiun terjadi pada tahun 2012 yang mencapai 36.096 orang yang diperkirakan
berasal dari guru yang diangkat melalui Program INPRES (Widiatmoko, 2006).
Data-data tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan akan guru SD paling banyak
dibandingkan dengan kebutuhan guru pada jenjang pendidikan lainnya. Jumlah
kebutuhan ini kemungkinan semakin meningkat dengan penambahan ruang kelas atau
bangunan baru. Sejalan dengan hukum permintaan pasar, tuntutan masyarakat
terhadap ketersediaan guru SD tersebut, sangat menarik bagi berbagai perguruan
tinggi negeri dan swasta untuk membuka program studi PGSD. Bahkan pemerintah, tidak
dapat sepenuhnya mengendalikan “pasar” tersebut sampai bermunculan PGSD-PGSD
yang tidak memiliki ijin resmi. Ironisnya tidak semua perguruan tinggi tersebut
memiliki kapasitas kelembagaan yang memenuhi standar sebagaimana
ditetapkan oleh Pemerintah.
Perkembangan penyelenggaraan PGSD semenjak
tahun 1990, hanya sedikit PTN maupun PTS yang
memiliki komitmen pada pengembangan kapasitas kelembagaan PGSD. Selama ini
tidak ada perkembangan yang signifikan dalam pengelolaan PGSD, meskipun PGSD
menyumbang secara signifikan terhadap besaran pemasukan dana pendidikan.
Meskipun beberapa PTN telah berpengalaman mengelola program pendidikan guru,
khususnya LPTK, masih terjadi pengelolaan PGSD yang asal-asalan. Lebih lagi
pada PTS, banyak terjadi penyelenggaraan Program PGSD lebih didasarkan pada
“kemauan besar” tetapi “potensi” kelembagaan sangat minimalis. Memang market demand guru SD sangat tinggi, tetapi tanpa didukung kapasitas
kelembagaan yang memadai, LPTK hanya akan menghasilkan calon guru yang “wagu
dan saru” karena tidak memiliki kompetensi profesional sesuai dengan standar
kualitas yang diperlukan oleh sekolah-sekolah. Konflik antara model kualitas akademik dengan model
tuntutan pasar tidak perlu dipandang lebih sebagai
problem yang harus dipecahkan atau dikurangi (Ruben, 2004:6). Kedua kondisi
tersebut hendaknya dipahami sebagai tekanan
untuk mengembangkan potensi kreativitas
dan produktivitas untuk menjadi lebih baik, atau dijadikan inspirasi bagi para
civitas akademika untuk mencapai standar keunggulan yang lebih tinggi. Dengan
demikian perguruan tinggi atau LPTK dituntut untuk mengembangkan
strategi-strategi inovatif yang dapat menjawab tuntutan penyediaan guru SD yang
profesional dengan menyediakan layanan pendidikan calon guru yang berkualitas.
Dalam konteks ini, Burke (2005: 21)
menyarankan “Colleges and universities must
stick to their mission, serve their society, and sell their services”. PT harus mengerjakan apa yang dapat dikerjakan dengan
paling baik atau lebih baik daripada lainnya, yang berarti “bertahan” dengan
misinya sembari “menjual” kepada pelanggan yang paling memerlukan “layanan”nya.
Akhirnya pimpinan PT yang paham politik adalah pimpinan yang dapat membedakan
kebutuhan riil publik dari tuntutan partisan yang bermuatan kepentingan dan
bersifat sesaat, dan mampu mendidik masyarakat, dan juga pejabat pemerintah
untuk melihat perbedaan kebutuhan tersebut. Sehubungan dengan itu model
keunggulan PT dengan sendirinya berorientasi bukan pada “mission centeredness” tetapi pada “mission
creep”; atau bukan pada keterpusatan pada
misi tetapi pada upaya pencapaian misi secara bertahap.
Tantangan Manajemen PGSD
Sebagaimana tertuang dalam Higher Education Long Term
Strategy (HELTS) 2003-2010. Pada fungsinya yang
paling mendasar, pendidikan tinggi merupakan landasan bagi pertumbuhan dan
pendorong perkembangan bangsa. Pendidikan tinggi tidak dapat lagi menjadi
menara gading tetapi harus mampu mengkapitalisasi pengetahuan, dimana
pengetahuan diciptakan dan ditransmisikan untuk memajukan disiplin ilmu dan digunakan sebagai basis
pengembangan sosial ekonomi, dan pendorong perkembangan bangsa. Perguruan tinggi
diharapkan menjadi kekuatan moral yang mampu membentuk karakter dan budaya
bangsa yang berintegritas tinggi; memperkuat persatuan bangsa melalui
penumbuhan rasa kepemilikan dan kebersamaan sebagai suatu bangsa yanng bersatu;
menumbuhkan masyarakat demokratis sebagai pendamping bagi kekuatan
sosial politik; menjadi sumber ilmu pengetahuan dan pembentukan sumberdaya manusia
(SDM) yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat dengan seluruh strata
sosialnya. Untuk menanggapi tantangan tersebut
dalam HELTS 2003-2010 telah dicanangkan tiga kebijakan dasar pengembangan
pendidikan tinggi yaitu daya saing bangsa (nation’s competetiveness), otonomi dan desentralisasi (autonomy), dan kesehatan organisasi (organizational health). Dalam HELTS tersebut dinyatakan bahwa salah satu peran
pendidikan tinggi yang tidak kalah pentingnya dalam meningkatkan daya saing
bangsa adalah dalam mencetak tenaga guru untuk pendidikan jenjang dasar dan
menengah. Dalam konteks ini maka manajemen PGSD harus dapat merespon tantangan
untuk menghasilkan guru-guru SD yang memiliki kompetensi profesional, yang
mampu mengembangkan seluruh potensi peserta didiknya agar mampu hidup mandiri,
berperan secara aktif dalam lingkungan masyarakatnya, dan mampu bersaing dalam
kehidupan global. Selain tantangan eksternal di atas,
manajemen perguruan tinggi sebenarnya juga menghadapi permasalahan internal. Dalam hal ini Ruben
(2004:7) mengemukakan delapan isu pokok dalam pengelolaan perguruan tinggi
yaitu: (a) memperluas apresiasi masyarakat terhadap pekerjaan
akademisi, (b) meningkatkan pemahaman akademisi tentang berbagai kebutuhan
lapangan kerja, (c) menjadikan perguruan tinggi sebagai organisasi pebelajar
yang lebih efektif, (d) mengintegrasikan asesmen, perencanaan, dan
pengembangan, (e) memperkuat kolaborasi dengan masyarakat, (f) memperkenalkan
bahwa setiap personal dalam perguruan tinggi adalah pendidik, (g) mencurahkan perhatian
dan sumberdaya yang lebih banyak kepada kepemimpinan, dan (h) lebih memperluas
kerangka visi keunggulan.
Kerja pendidikan tinggi tidak dipahami
secara baik, dan masyarakat seringkali memiliki kesan yang tidak lengkap atau
tidak benar tentang tanggung jawab sehari-hari, peran akademisi, institusi, dan
prinsip-prinsip yang melandasi kerja akademisi. Untuk itu diperlukan komunikasi
yang efektif, yang dapat menterjemahkan tujuan-tujuan dan prioritas-prioritas
PGSD menjadi informasi yang lebih jelas dan langsung menjawab keperluan dan
perhatian para pemangku kepentingan yang kita perlukan dukungannya. Pendidikan
tinggi pada umumnya tidak mungkin mencurahkan sebagian besar waktu dan usahanya
untuk memikirkan berbagai kebutuhan kontemporer lapangan kerja, lebih lagi
karena tuntutan lapangan kerja yang selalu berubah cepat sepanjang waktu. Namun
perlu disadari bahwa mahasiswa merupakan alasan paling mendasar dari keberadaan
suatu perguruan tinggi. Pada umumnya mahasiswa merasakan bahwa pendidikan
tinggi menjadi bagian persiapan untuk kerja profesionalnya. Untuk itu PGSD dituntut untuk
menyediakan layanan pendidikan yang mampu melahirkan calon guru profesional,
sesuai standar yang telah ditetapkan dalam UU No.14 tahun 2005 dan PP No. 74
Tahun 2008, serta peraturan pelaksanaan operasional lainnya. Tak ada tujuan
yang lebih mendasar dari akademisi selain mengembangkan lingkungan yang
menghargai dan mendukung pembelajaran. Masyarakat belajar, kebutuhan belajar
sepanjang hayat, dan tuntutan menjadi organisasi yang mampu menciptakan,
memperoleh dan mentransfer ilmu pengetahuan, serta memodifikasi perilaku
sebagai cerminan penguasaan ilmu dan wawasan baru, menjadi tantangan serius
bagi civitas akademika PGSD. Hampir semua perguruan tinggi, termasuk di
dalamnya Program PGSD telah melaksanakan evaluasi, khususnya evaluasi
pelaksanaan pembelajaran pada setiap akhir semester. Penilaian tersebut lebih
bersifat individual, dan seringkali tidak ada tindak lanjutnya terhadap
peningkatan kualitas pembelajaran.
Sementara itu evaluasi secara
menyeluruh terhadap komponen-komponen penyelenggaraan program studi seringkali
lebih bersifat episodik daripada berkelanjutan, seperti saat mengajukan
akreditasi atau mengikuti Visitasi. Oleh karena itu menjadi tantangan manajemen
PGSD untuk mengintegrasikan asesmen, perencanaan dan pengembangan menjadi
program-program yang jelas menjadi bagian dari pengembangan institusi. Tantangan
fundamental lain dari Program PGSD adalah komitmen untuk melaksanakan kolaborasi
internal dan kemitraan dengan masyarakat. Penataan sistem kepangkatan, budaya
akademik, dan penilaian personal antara lain menjadi faktor yang mempengaruhi
efektivitas kerjasama antar dosen, antara dosen dengan staf administratif, dan
antara dosen dengan mahasiswa. Untuk itu perlu diciptakan aktivitas-aktivitas
yang mengingatkan kembali tujuan-tujuan bersama, dan meningkatkan kohesi
institusional. Dalam usaha bersama ini, kualitas harus diartikan sebagai hasil
kinerja bersama secara utuh bukan sekedar penjumlahan dari bagian-bagian yang berbeda. Selanjunya, setiap hari dalam kehidupan
kampus, para sivitas akademika PGSD menjalankan misi institusi yakni berbagi
ilmu pengetahuan. Mereka mengisi berbagai fungsi yang diperlukan untuk
operasional institusi dan mendukung penuaian misi utama yakni penyelenggaraan
proses pembelajaran. Oleh karena itu civitas akademika PGSD dapat dikatakan
semuanya sebagai pendidik. Beberapa mendidik di ruang kelas, kantor,
perpustakaan, kantin, halaman kampus, dan tempat-tempat lainnya. Jadi semua
civitas akademika PGSD harus dapat bertindak sebagai pendidik, menjadi suri
tauladan dalam bersikap dan bertindak, dimana pun, kapan pun. Permalasahan
pengelolaan PGSD yang kompleks dan cukup merepotkan dalam mengakomodasi
berbagai kepentingan (dosen, mahasiswa, staf pendukung, dan masyarakat),
sebagaimana pengelolaan perguruan tinggi pada umumnya, memerlukan kepemimpinan
yang kuat. Dalam dunia perguruan tinggi dimana kebebasan sangat berharga, dan
urusan berbagi dihargai sangat tinggi, tantangan kepemimpinan sangat besar. Hal
tersebut memerlukan individu-individu dengan wawasan dan kompetensi tidak
sekedar menciptakan dan mengartikulasikan visi, tujuan-tujuan, dan berbagai
rencana tindakan, tetapi juga mengajak berbagai pemangku kepentingan internal
dan eksternal di dalam proses perumusan visi, tujuan dan strategi implementasinya.
Akhirnya
bagaimana pikiran-pikiran tentang keunggulan memiliki implikasi fundamental terhadap penjelasan dan penyesuaian perbedaan
perspektif dan prioritas di antara civitas akademika PGSD. Secara umum
perspektif keunggulan perguruan tinggi mencakup keunggulan akademik (academic excellence), keunggulan layanan (service excellent),
dan keunggulan penyelenggaraan (operational
excellence). Keunggulan akademik menyangkut
kepuasan dalam penciptaan, pemerolehan dan penyediaan ilmu pengetahuan dan
pembentukan keterampilan. Keunggulan layanan terkait dengan segala bentuk
interaksi antar civitas akademika dan pemangku kepentingan lainnya, yang
berjalan lancar dan memuaskan semua pihak. Adapun keunggulan penyelenggaraan
terkait dengan efektivitas dan efisiensi Program PGSD dalam menjalankan fungsi
tri dharmanya.
Proses Kualitas Pendidikan pada
Program PGSD
Menurut William E. Massy (Burke,
2005:174), “Proses kualitas pendidikan merupakan aktivitas-aktivitas terorganisir yang
didedikasikan untuk meningkatkan dan menjamin kualitas pendidikan”. Lebih
lanjut dijelaskan bahwa proses kualitas pendidikan mencakup lima domain
aktivitas yang saling berkaitan, meskipun kehebatan suatu aktivitas tidak
secara otomatis menghasilkan kinerja yang bagus bagi yang lain, tetapi
kegagalan yang satu dapat menyebabkan kesulitan yang lain. Dalam audit akademik, proses kualitas pendidikan mencakup
komponenkomponen dengan permasalahannya sebagai berikut. (1) Learning objectives. Apa yang harus diketahui dan dapat dikerjakan oleh lulusan
PGSD? Bagaimana Prodi PGSD berkontribusi terhadap prospek penempatan alumni,
kapasitas lulusan untuk memberikan kontribusi sosial dan peningkatan kualitas
hidup? (2) Curricular design. Apa yang harus diajarkan, bagaimana urutannya, dan dari perspektif
mana? Bahan ajar apa yang digunakan, bagaimana bahan ajar dikaitkan dengan
bagian-bagian lain yang dipelajari mahasiswa, dan kaitan dengan sasaran belajar
berikutnya? (3) Teaching and learning activities, Bagaimana proses pembelajaran diorganisasikan?
Metode-metode apakah yang digunakan untuk menjelaskan bahan ajar, untuk
menjawab pertanyaan dan mengembangkan interpretasi, untuk mendorong
keterlibatan mahasiswa, dan untuk menyediakan balikan terhadap pekerjaan
mahasiswa? Apakah pembelajaran berlangsung aktif? Apakah ITC dimanfaatkan
secara efektif? (4) Student learning assesment, ukuran-ukuran dan indikator-indikator apakah yang
digunakan untuk mengases belajar mahasiswa? Apakah ukuran dan indikator
tersebut secara kontruktif sejalan dengan sasaran-sasaran belajar? Adakah
perbedaan kemampuan mahasiswa saat awal dan akhir pembelajaran? Siapa yang
bertanggungjawab terhadap asesmen pembelajaran, dan bagaimana hasil-hasil
asesmen tersebut dapat memacu peningkatan proses pembelajaran mahasiswa dan
dosen? (5) Implementation quality assurance, bagaimana pimpinan LPTK, fakultas, dan Jurusan/Prodi PGSD
menjamin bahwa bahan ajar sesuai dengan tujuannya (instruksional, kurikuler,
institusional, dan nasional), bahwa proses perkuliahan diselenggarakan secara
konsisten, dan bahwa penilaian hasil belajar dilaksanakan sesuai rencana dan
hasil-hasilnya dimanfaatkan secara efektif?
Penguatan Kapasitas Kelembagaan
PGSD
Dalam HELTS 2003-2010 disebutkan tiga
strategi pengembangan pendidikan tinggi, dua diantaranya dapat dikategorikan
sebagai strategi penguatan kelembagaan yakni (1) otonomi dan desentralisasi,
dan (2) kesehatan organisasi. Sebagaimana dijelaskan bahwa governance merupakan aspek inti pada setiap organisasi, tidak
terkecuali pada sistem pendidikan tinggi. Sejak awal sejarahnya, perguruan
tinggi membutuhkan cara pengelolaan yang berbeda dengan organisasi pemerintah,
bisnis, atau industri. Secara universal diakui bahwa pendidikan tinggi mempunyai
keunikan dalam mengembangkan sistem nilai dan norma dasar seperti dalam
pencarian kebenaran, kejujuran, dan rasa saling menghormati. Di samping itu,
kinerja akademik hanya dapat berkembang apabila perguruan tinggi diberi kewenangan
dan otonomi yang luas. Keseimbanngan antara otonomi akademik dan sistem
pengelolaan sumberdaya, tidak jarang menimbulkan masalah yang pelik. Selain itu
perguruan tinggi tidak dapat terhindar dari perubahan, tekanan, dan harapan
dari masyarakat dan sistem makro pengelolaan pendidikan tinggi. Agar Program
PGSD dapat berperan secara optimal, maka sistem pengelolaan PGSD perlu dibenahi
dan dikembangkan secara berkelanjutan.
Pembenahan kapasitas institusi dapat
dilakukan dengan pendelegasian kewenangan yang lebih besar kepada perguruan
tinggi, fakultas, dan jurusan/program studi. Perguruan tinggi yang otonom
diharapkan dapat memilih dan menetapkan fokus masing-masing yang dilandasi oleh
potensi, kekhasan dan nilai-nilai akademik universal serta tujuan pendidikan
nasional. Sementara itu kesehatan organisasi institusi pendidikan tinggi
diartikan sebagai suatu keadaan dimana organisasi berfungsi secara optimal
dalam mewujudkan visi dan misinya yang telah ditetapkan, (Ditjen Dikti, 2004b:
23) dan dicirikan oleh karakteristik berikut: 1) berkembangnya kebebasan
akademik; 2) terciptanya suasana akademik yang mendorong proses penelitian,
inovasi, kreativitas dan pemunculan ide-ide bagi setiap individu; 3) berkembangnya
sistem nilai, norma, tata tertib dan operasi standar lainnya yang memungkinkan
terjadinya team building dan team
spirit, sehingga memungkinkan seseorang atau
kelompok untuk produktif secara maksimal; 4) berlakunya prinsip meritokrasi
dengan baik sehingga setiap individu akan termotivasi untuk bekerja keras dan
meraih keunggulan; 5) berkembangnya kemampuan memasarkan dan menjual ide-ide
yang berkembang dari kegiatan penelitian; 6) berkembangnya kemampuan untuk
menjalin kerjasama yang berkelanjutan di dalam maupun di luar perguruan tinggi;
7) terlaksananya akuntabilitas keuangan. Karakteristik kesehatan
organisasi tersebut pada dasarnya telah diakomodasi dalam standar akreditasi
Program Studi Sarjana (BAN-PT, 2008). Standar akreditasi program studi sarjana
tersebut mencakup komitmen program studi sarjana untuk memberikan layanan prima
dan efektivitas pendidikan yang terdiri atas tujuh standar yaitu Standar 1
tentang Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran, serta Strategi Pencapaian; Standar 2
tentang Tata Pamong, Kepemimpinan, Sistem Pengelolaan, dan Penjaminan Mutu;
Standar 3 tentang Mahasiswa dan Lulusan; Standar 4 tentang Sumber daya manusia;
Standar 5 tentang Kurikulum, Pembelajaran dan Suasana Akademik; Standar 6
tentang Pembiayaan, Sarana dan Prasarana, serta Sistem Informasi; dan Standar 7
tentang Penelitian, Pelayanan/ Pengabdian kepada Masyarakat, dan Kerjasama.
Dengan demikian PGSD sebenarnya dapat menggunakan standar akreditasi ini
sebagai rujukan untuk mengembangkan aktivitas-aktivitas yang berujung pada
peningkatan kapasitas kelembagaan PGSD.
Akuntabilitas
Pengelolaan PGSD
Praktek pengelolaan
pendidikan tinggi di Indonesia cenderung lebih mengutamakan akuntabilitas
internal. Sebagaimana dilansir dalam HELTS 2003-2010 (Ditjen Dikti, 2004: 26), governance dan sistem pengelolaan PTN maupun PTS selama ini pada umumnya mengikuti
peraturan yang secara seragam berlaku untuk seluruh jajaran unit pelayanan
pemerintah. Pengelolaan terpusat seperti ini mengakibatkan tumbuhnya budaya birokrasi yang kuat di perguruan
tinggi. Pimpinan perguruan tinggi merasa bahwa akuntabilitas mereka hanya
kepada atasannya (single
accountability) di pemerintah pusat, dan
bukan kepada stakeholders secara keseluruhan, yaitu masyarakat perguruan
tinggi (dosen,pegawai, dan mahasiswa), orangtua mahasiswa, pemerintah pusat dan
daerah, dan masyarakat lainnya (penyedia kerja, alumni, industri, dan
masyarakat umum lainnya). Menurut Burke (2005: 2), akuntabilitas membebankan
enam tuntutan terhadap para pegawai atau agen-agen pemerintahan atau organisasi
layanan umum, termasuk perguruan tinggi, yakni: pertama mereka harus menunjukkan bahwa mereka telah
menggunakan kekuasaan secara memadai; kedua, mereka harus
memperlihatkan bahwa mereka bekerja untuk mencapai misi atau berbagai prioritas
yang ditetapkan oleh kantor atau organisasinya; ketiga, mereka harus melaporkan kinerjanya (“power is opaque,
accountability is public”);
keempat, dua kata “E” pengurusan umum, yakni efisiensi dan
efektivitas, memerlukan perhitungan terhadap sumberdaya
yang digunakan dan hasil-hasil yang diperoleh; kelima, mereka harus menjamin kualitas program dan
layanan yang diberikan; dan keenam, mereka harus menunjukkan
bahwa mereka melayani kebutuhan umum. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tujuan
akuntabilitas program-program pada perguruan tinggi selalu bergeser sepanjang
waktu dari efisiensi sistem, ke kualitas pendidikan, ke produktivitas organisasi, dan ke responsibilitas eksternal terhadap prioritas-prioritas masyarakat
atau tuntutan pasar (Burke, 2005: 4). Berdasarkan konsepsi ini maka
akuntabilitas pengelolaan sebuah perguruan tinggi, termasuk PGSD, tidak saja bersifat
internal berupa tanggung gugat kepada atasan atau pihak yayasan saja, tetapi
juga memiliki dimensi tanggung gugat kepada pihak-pihak luar (eksternal)
sebagai pemangku kepentingan PGSD tersebut. Sehubungan dengan itu ada berbagai
macam jenis akuntabilitas, sebagaimana dikemukakan Vidovich dan Slee (Burke,
2005: 3) sebagai berikut: 1) Upward accountability menunjukkan hubungan tradisional dalam bentuk tanggungjawab
bawahan kepada atasan, mencakup akuntabilitas prosedural, birokratik, legal, dan vertikal, 2) Downward
accountability berfokus pada tanggung
jawab pimpinan terhadap bawahan dalam pengambilan keputusan atau akuntabilitas
kesejawatan pada perguruan tinggi, 3) Inward
accountability, sebagai organisasi yang
didominasi oleh para profesional, maka berpusat pada tindakan staf pengajar
dalam menerapkan berbagai standar profesional dan etis, yang disebut sebagai akuntabilitas profesional, 4) Outward accountability dimaksudkan terkait dengan pelanggan luar, para pemangku
kepentingan, pendukung (donatur), dan pada akhirnya kepada masyarakat dalam
arti luas.
Dengan berbagai macam
tuntutan akuntabilitas tersebut maka pengelolaan PGSD harus memiliki
responsibilitas terhadap berbagai tuntutan. Dalam konteks ini program
akuntabilitas yang paling mempengaruhi adalah: 1) Prioritas negara, yang
mencerminkan kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan masyarakat terhadap
program-program dan layanan pendidikan tinggi, yang seringkali disampaikan oleh
pejabat pemerintahan, dan juga oleh pemimpin-peminpin di luar pemerintahan, 2) Urusan
akademik, yang melibatkan isu-isu dan kepentingan masyarakat akademis,
khususnya para dosen, tenaga pendukung dan pengelola, 3) Tuntutan pasar, yakni
mencakup kebutuhan-kebutuhan pelanggan dan tuntutan-tuntutan mahasiswa, orang
tua, dunia usaha/industri, dan para pemangku kepentingan lainnya.
Burke (2005:21)
menggambarkan ketiga tekanan program akuntabilitas tersebut sebagai tiga pilar
akuntabilitas perguruan tinggi sebagai berikut. Prioritas negara, urusan
akademik, dan tuntutan pasar masing-masing mencerminkan kepentingan
kewarganegaraan, kesejawatan, dan budaya atau kepentingan komersial. Prioritas
negara mencerminkan akuntabilitas
politik, urusan akademik mewakili akuntabilitas
profesional, dan tuntutan pasar mendorong
akuntabilitas pasar. Setiap sudut segitiga akuntabilitas di atas memiliki
sisi terang dan sisi gelap, merefleksikan berbagai kebutuhan dan kepentingan.
Prioritas negara dapat mengangkat apa yang sangat dibutuhkan warga negara dari
pendidikan tinggi, seperti guru-guru yang lebih baik, tenaga kerja yang
terdidik, dan warga negara yang melek informasi. Urusan akademik dapat membangkitkan
kebebasan inkuiri dan diskusi tentang berbagai gagasan, keyakinan, dan
kebiasaan berdasarkan oleh keterbukaan, ilmu pengetahuan, dan obyektivitas. Hal
ini juga dapat mencerminkan model reputasi sumberdaya dari pendidikan tinggi
yang memandang kualitas kelembagaan lebih sebagai permasalahan rekrutmen
mahasiswa yang paling cerdas, memperkerjakan dosen yang brilian, dan
meningkatkan sebanyak-banyaknya sumberdaya.
Indikator Keunggulan
Manajemen PGSD
Membangun citra keunggulan
perguruan tinggi memang tidak mudah, apalagi menciptakan keunggulkan Program
PGSD. Citra keunggulan ini perlu diupayakan secara berkelanjutan sebagai bagian
dari penjaminan mutu pendidikan tinggi. Upaya semacam ini tentu memerlukan
komitmen dan dukungan dari seluruh civitas akademika. Komitmen dalam suatu
organisasi (Covey dalam Sonnenberg, 1993: 19), termasuk Program PGSD, dapat
ditumbuh-kembangkan melalui empat tahap. Pertama, fase manajemen ilmiah, dalam
fase ini civitas akademika dipandang terutama sebagai mahluk ekonomi yang
memerlukan pemenuhan “perut”. Dalam fase ini manajemen dapat memotivasi civitas
akademika terutama dengan menggunakan ganjaran dan hukuman, atau memberikan
insentif bagi yang menjalankan tugas dengan baik, dan memberikan sanksi bagi
yang melanggar atau tidak melaksanakan tugas. Fase kedua adalah fase hubungan
kemanusiaan, dalam hal ini manajemen harus menerima bahwa sivitas akademika
memiliki “hati”, sehingga meskipun tetap menggunakan kekuasaan dan
pengendalian, pihak manajemen harus memperlakukan mereka dengan sopan, rasa hormat,
sesuai adat kesusilaan, dan keterbukaan. Fase ketiga menekankan pada
prinsip-prinsip sumberdaya manusia, yakni selain perut dan hati, manusia juga
mempunyai “pikiran”. Untuk itu manajemen perlu mengekplorasi berbagai cara
untuk menciptakan lingkungan yang kondusif, dan membangun budaya kerja yang
dapat memberikan kesempatan berbagai bakat mereka berkembang, dan memberdayakan
kreativitasnya untuk mencapai tujuan-tujuan perguruan tinggi. Fase keempat,
atau terakhir, adalah paradigma manusia seutuhnya. Perguruan tinggi yang sudah
mencapai tahap ini mampu memberikan “makna”, atau suatu perasaan telah
mengerjakan sesuatu yang berharga. Pada tahap ini manajemen mengembangkan
kapasitas mental civitas akademika sampai tingkat maksimal, dengan memberi
jalan kepada pengembangan nilai-nilai, gagasan-gagasan, norma-norma, dan
proses-proses pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan dan keahlian mereka,
dan memberdayakan serta memberikan inspirasi bagi para civitas akademika. Apabila komitmen sudah
mengakar pada seluruh civitas akademika PGSD maka tahap selanjutnya adalah mengembangkan
indikator keunggulan manajemen PGSD. Standar akreditasi sebagaimana ditetapkan
BAN-PT pada dasarnya dapat dijadikan rujukan untuk mengembangkan indikator
keunggulan manajemen PGSD. Selanjutnya Indikator Layanan Umum meliputi
antara lain: kepuasan pemangku kepentingan eksternal (pemerintah, orangtua,
alumni, dunia industri atau usaha), dan tingkat aktivitas/kontak (seleksi
kepemimpinan, reputasi perguruan tinggi, kesesuaian dengan kebutuhan
masyarakat, tingkat kepuasan, kontribusi pendanaan, dan pilihan publik terhadap
PGSD). Indikator Keilmuan/Penelitian mencakup antara lain: produktivitas
(presentasi, publikasi, dan pendanaan penelitian), dan dampak (ketenaran,
penghargaan, asesmen sejawat, dan pendanaan). Indikator Kepuasan Lapangan Kerja
antara lain mencakup: iklim kerja, kemenarikan, pengunduran diri, kompensasi,
kepuasan dan semangat kerja. Adapun indikator administrasi dan operasional
dapat dilihat dari: ukuran-ukuran keuangan, kapasitas dan tingkat pengunaan,
efisiensi dan efektivitas proses administrasi, rencana strategis dan tindak
lanjutnya, serta efektivitas kepemimpinan. Dengan mengandaikan mengemudi “Mobil
Program PGSD” maka pengelola PGSD dapat selalu memantau indikator-indikator
pada dasbor di atas, sehingga Program PGSD dapat dikemudikan dengan lancar, dan
terkendali dalam menyediakan layanan pendidikan untuk menghasilkan para calon
guru yang profesional. Dengan dasbor hipotetis tersebut seluruh komponen
penyelenggaraan sistem pendidikan guru SD dapat dideteksi secara berkelanjutan,
sehingga kekeliruan pengelolaan dapat ditemu-kenali secara cepat dan tepat untuk
kemudian diperbaiki. Dengan strategi pengelolaan semacam itulah PGSD dapat meninngkatkan
keunggulan manajemen program studi, dan pada akhirnya berkontribusi pada kesehatan organisasi
perguruan tinggi.
Penutup
Apabila dicermati rangkaian
paparan di muka pada prinsipnya menunjukkan berbagai strategi dan cara-cara untuk
menciptakan keunggulan manajemen Program PGSD, yang dapat berkontribusi dalam
membangun citra keunggulan PT. PGSD pada dasarnya dapat dijadikan “flag carrier” bagi PT berdasarkan kenyataan bahwa pendidikan
dasar (termasuk sekolah dasar) merupakan fondasi bagi jenjang pendidikan
selanjutnya. Dengan demikian komitmen PT terhadap eksistensi dan pengembangan
PGSD dapat menjadi sarana bagi PT untuk berperan dalam menyediakan layanan
pendidikan dasar yang berkualitas. Program Studi PGSD merupakan program yang
relatif paling prospektif di lingkungan FKIP maupun PT. Kebutuhan guru SD lebih
banyak dibandingkan dengan kebutuhan guru pada jenjang sekolah lainnya. Dengan
kata lain, lapangan kerja lulusan PGSD paling jelas dibandingkan dengan lulusan
program studi kependidikan lainnya. Preferensi masyarakat juga mulai meningkat
untuk menjadi guru SD terbukti dengan animo pendaftaran mahasiswa PGSD.
Sehubungan dengan itu adalah menjadi kerugian besar apabila perguruan tinggi,
tidak memprioritaskan pada pengembangan Program PGSD.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar