Kamis, 15 November 2012

MENUJU KEMANDIRIAN PGSD (Akuntabilitas, Profesional & Berkualitas)



Harapan vs Kenyataan
Pengelolaan pendidikan tinggi, termasuk PGSD, seringkali terjebak pada konflik perspektif dan prioritas antara kualitas akademik dengan tuntutan pasar. Pilihan orientasi tersebut dipandang sebagai trade-off antara mengutamakan kualitas atau menyerah pada tuntutan pasar. Dengan alasan legal-konstitusional, tuntutan pasar yang besar, dan kebutuhan pemasukan dana operasional, perguruan tinggi, seringkali menyelenggarakan program-program pendidikan tanpa memperhatikan standar kualitas yang ditetapkan. Perspektif kualitas mempersyaratkan standar input, pengelolaan (proses) dan output yang sejalan dengan prinsip-prinsip pembentukan kompetensi profesional Guru SD. Kebutuhan Guru SD di masyarakat dari tahun ke tahun meningkat sejalan dengan semakin besarnya jumlah guru pensiun, dan penambahan rombongan belajar (rombel), ruang kelas (RK) atau unit gedung baru (UGB).
 Hasil perhitungan pensiunan guru yang bersumber dari data individual guru di BKN menunjukkan bahwa guru yang akan pensiun di tahun 2006 sampai dengan 2015 menunjukkan trend yang semakin besar, dengan rata-rata 25,34% per tahun. Sementara itu Dirjen PMPTK menyampaikan bahwa pada tahun 2006 total kebutuhan guru diperkirakan sebanyak 218.838 orang. Kebutuhan yang paling  banyak adalah untuk satuan pendidikan SD sebanyak 107.461 orang (49,11 persen) dan yang paling sedikit TK sebanyak 1.340 orang (0,61 persen). Puncak Guru SD yang akan pensiun terjadi pada tahun 2012 yang mencapai 36.096 orang yang diperkirakan berasal dari guru yang diangkat melalui Program INPRES (Widiatmoko, 2006). Data-data tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan akan guru SD paling banyak dibandingkan dengan kebutuhan guru pada jenjang pendidikan lainnya. Jumlah kebutuhan ini kemungkinan semakin meningkat dengan penambahan ruang kelas atau bangunan baru. Sejalan dengan hukum permintaan pasar, tuntutan masyarakat terhadap ketersediaan guru SD tersebut, sangat menarik bagi berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta untuk membuka program studi PGSD. Bahkan pemerintah, tidak dapat sepenuhnya mengendalikan “pasar” tersebut sampai bermunculan PGSD-PGSD yang tidak memiliki ijin resmi. Ironisnya tidak semua perguruan tinggi tersebut memiliki kapasitas kelembagaan yang memenuhi standar sebagaimana ditetapkan oleh Pemerintah.
Perkembangan penyelenggaraan PGSD semenjak tahun 1990, hanya sedikit PTN maupun PTS yang  memiliki komitmen pada pengembangan kapasitas kelembagaan PGSD. Selama ini tidak ada perkembangan yang signifikan dalam pengelolaan PGSD, meskipun PGSD menyumbang secara signifikan terhadap besaran pemasukan dana pendidikan. Meskipun beberapa PTN telah berpengalaman mengelola program pendidikan guru, khususnya LPTK, masih terjadi pengelolaan PGSD yang asal-asalan. Lebih lagi pada PTS, banyak terjadi penyelenggaraan Program PGSD lebih didasarkan pada “kemauan besar” tetapi “potensi” kelembagaan sangat minimalis. Memang market demand guru SD sangat tinggi, tetapi tanpa didukung kapasitas kelembagaan yang memadai, LPTK hanya akan menghasilkan calon guru yang “wagu dan saru” karena tidak memiliki kompetensi profesional sesuai dengan standar kualitas yang diperlukan oleh sekolah-sekolah. Konflik antara model kualitas akademik dengan model tuntutan pasar tidak perlu dipandang lebih sebagai problem yang harus dipecahkan atau dikurangi (Ruben, 2004:6). Kedua kondisi tersebut hendaknya dipahami sebagai tekanan untuk mengembangkan potensi kreativitas dan produktivitas untuk menjadi lebih baik, atau dijadikan inspirasi bagi para civitas akademika untuk mencapai standar keunggulan yang lebih tinggi. Dengan demikian perguruan tinggi atau LPTK dituntut untuk mengembangkan strategi-strategi inovatif yang dapat menjawab tuntutan penyediaan guru SD yang profesional dengan menyediakan layanan pendidikan calon guru yang berkualitas.
Dalam konteks ini, Burke (2005: 21) menyarankan “Colleges and universities must stick to their mission, serve their society, and sell their services”. PT harus mengerjakan apa yang dapat dikerjakan dengan paling baik atau lebih baik daripada lainnya, yang berarti “bertahan” dengan misinya sembari “menjual” kepada pelanggan yang paling memerlukan “layanan”nya. Akhirnya pimpinan PT yang paham politik adalah pimpinan yang dapat membedakan kebutuhan riil publik dari tuntutan partisan yang bermuatan kepentingan dan bersifat sesaat, dan mampu mendidik masyarakat, dan juga pejabat pemerintah untuk melihat perbedaan kebutuhan tersebut. Sehubungan dengan itu model keunggulan PT dengan sendirinya berorientasi bukan pada “mission centeredness” tetapi pada “mission creep”; atau bukan pada keterpusatan pada misi tetapi pada upaya pencapaian misi secara bertahap.

Tantangan Manajemen PGSD
Sebagaimana tertuang dalam Higher Education Long Term Strategy (HELTS) 2003-2010. Pada fungsinya yang paling mendasar, pendidikan tinggi merupakan landasan bagi pertumbuhan dan pendorong perkembangan bangsa. Pendidikan tinggi tidak dapat lagi menjadi menara gading tetapi harus mampu mengkapitalisasi pengetahuan, dimana pengetahuan diciptakan dan ditransmisikan untuk memajukan disiplin ilmu dan digunakan sebagai basis pengembangan sosial ekonomi, dan pendorong perkembangan bangsa. Perguruan tinggi diharapkan menjadi kekuatan moral yang mampu membentuk karakter dan budaya bangsa yang berintegritas tinggi; memperkuat persatuan bangsa melalui penumbuhan rasa kepemilikan dan kebersamaan sebagai suatu bangsa yanng bersatu; menumbuhkan masyarakat demokratis sebagai pendamping bagi kekuatan sosial politik; menjadi sumber ilmu pengetahuan dan pembentukan sumberdaya manusia (SDM) yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat dengan seluruh strata sosialnya. Untuk menanggapi tantangan tersebut dalam HELTS 2003-2010 telah dicanangkan tiga kebijakan dasar pengembangan pendidikan tinggi yaitu daya saing bangsa (nation’s competetiveness), otonomi dan desentralisasi (autonomy), dan kesehatan organisasi (organizational health). Dalam HELTS tersebut dinyatakan bahwa salah satu peran pendidikan tinggi yang tidak kalah pentingnya dalam meningkatkan daya saing bangsa adalah dalam mencetak tenaga guru untuk pendidikan jenjang dasar dan menengah. Dalam konteks ini maka manajemen PGSD harus dapat merespon tantangan untuk menghasilkan guru-guru SD yang memiliki kompetensi profesional, yang mampu mengembangkan seluruh potensi peserta didiknya agar mampu hidup mandiri, berperan secara aktif dalam lingkungan masyarakatnya, dan mampu bersaing dalam kehidupan global.  Selain tantangan eksternal di atas, manajemen perguruan tinggi sebenarnya juga menghadapi permasalahan internal. Dalam hal ini Ruben (2004:7) mengemukakan delapan isu pokok dalam pengelolaan perguruan tinggi yaitu: (a) memperluas apresiasi masyarakat terhadap pekerjaan akademisi, (b) meningkatkan pemahaman akademisi tentang berbagai kebutuhan lapangan kerja, (c) menjadikan perguruan tinggi sebagai organisasi pebelajar yang lebih efektif, (d) mengintegrasikan asesmen, perencanaan, dan pengembangan, (e) memperkuat kolaborasi dengan masyarakat, (f) memperkenalkan bahwa setiap personal dalam perguruan tinggi adalah pendidik, (g) mencurahkan perhatian dan sumberdaya yang lebih banyak kepada kepemimpinan, dan (h) lebih memperluas kerangka visi keunggulan.
Kerja pendidikan tinggi tidak dipahami secara baik, dan masyarakat seringkali memiliki kesan yang tidak lengkap atau tidak benar tentang tanggung jawab sehari-hari, peran akademisi, institusi, dan prinsip-prinsip yang melandasi kerja akademisi. Untuk itu diperlukan komunikasi yang efektif, yang dapat menterjemahkan tujuan-tujuan dan prioritas-prioritas PGSD menjadi informasi yang lebih jelas dan langsung menjawab keperluan dan perhatian para pemangku kepentingan yang kita perlukan dukungannya. Pendidikan tinggi pada umumnya tidak mungkin mencurahkan sebagian besar waktu dan usahanya untuk memikirkan berbagai kebutuhan kontemporer lapangan kerja, lebih lagi karena tuntutan lapangan kerja yang selalu berubah cepat sepanjang waktu. Namun perlu disadari bahwa mahasiswa merupakan alasan paling mendasar dari keberadaan suatu perguruan tinggi. Pada umumnya mahasiswa merasakan bahwa pendidikan tinggi menjadi bagian persiapan untuk kerja profesionalnya. Untuk itu PGSD dituntut untuk menyediakan layanan pendidikan yang mampu melahirkan calon guru profesional, sesuai standar yang telah ditetapkan dalam UU No.14 tahun 2005 dan PP No. 74 Tahun 2008, serta peraturan pelaksanaan operasional lainnya. Tak ada tujuan yang lebih mendasar dari akademisi selain mengembangkan lingkungan yang menghargai dan mendukung pembelajaran. Masyarakat belajar, kebutuhan belajar sepanjang hayat, dan tuntutan menjadi organisasi yang mampu menciptakan, memperoleh dan mentransfer ilmu pengetahuan, serta memodifikasi perilaku sebagai cerminan penguasaan ilmu dan wawasan baru, menjadi tantangan serius bagi civitas akademika PGSD. Hampir semua perguruan tinggi, termasuk di dalamnya Program PGSD telah melaksanakan evaluasi, khususnya evaluasi pelaksanaan pembelajaran pada setiap akhir semester. Penilaian tersebut lebih bersifat individual, dan seringkali tidak ada tindak lanjutnya terhadap peningkatan kualitas pembelajaran.
Sementara itu evaluasi secara menyeluruh terhadap komponen-komponen penyelenggaraan program studi seringkali lebih bersifat episodik daripada berkelanjutan, seperti saat mengajukan akreditasi atau mengikuti Visitasi. Oleh karena itu menjadi tantangan manajemen PGSD untuk mengintegrasikan asesmen, perencanaan dan pengembangan menjadi program-program yang jelas menjadi bagian dari pengembangan institusi. Tantangan fundamental lain dari Program PGSD adalah komitmen untuk melaksanakan kolaborasi internal dan kemitraan dengan masyarakat. Penataan sistem kepangkatan, budaya akademik, dan penilaian personal antara lain menjadi faktor yang mempengaruhi efektivitas kerjasama antar dosen, antara dosen dengan staf administratif, dan antara dosen dengan mahasiswa. Untuk itu perlu diciptakan aktivitas-aktivitas yang mengingatkan kembali tujuan-tujuan bersama, dan meningkatkan kohesi institusional. Dalam usaha bersama ini, kualitas harus diartikan sebagai hasil kinerja bersama secara utuh bukan sekedar penjumlahan dari bagian-bagian yang berbeda. Selanjunya, setiap hari dalam kehidupan kampus, para sivitas akademika PGSD menjalankan misi institusi yakni berbagi ilmu pengetahuan. Mereka mengisi berbagai fungsi yang diperlukan untuk operasional institusi dan mendukung penuaian misi utama yakni penyelenggaraan proses pembelajaran. Oleh karena itu civitas akademika PGSD dapat dikatakan semuanya sebagai pendidik. Beberapa mendidik di ruang kelas, kantor, perpustakaan, kantin, halaman kampus, dan tempat-tempat lainnya. Jadi semua civitas akademika PGSD harus dapat bertindak sebagai pendidik, menjadi suri tauladan dalam bersikap dan bertindak, dimana pun, kapan pun. Permalasahan pengelolaan PGSD yang kompleks dan cukup merepotkan dalam mengakomodasi berbagai kepentingan (dosen, mahasiswa, staf pendukung, dan masyarakat), sebagaimana pengelolaan perguruan tinggi pada umumnya, memerlukan kepemimpinan yang kuat. Dalam dunia perguruan tinggi dimana kebebasan sangat berharga, dan urusan berbagi dihargai sangat tinggi, tantangan kepemimpinan sangat besar. Hal tersebut memerlukan individu-individu dengan wawasan dan kompetensi tidak sekedar menciptakan dan mengartikulasikan visi, tujuan-tujuan, dan berbagai rencana tindakan, tetapi juga mengajak berbagai pemangku kepentingan internal dan eksternal di dalam proses perumusan visi, tujuan dan strategi implementasinya.
            Akhirnya bagaimana pikiran-pikiran tentang keunggulan memiliki implikasi fundamental terhadap penjelasan dan penyesuaian perbedaan perspektif dan prioritas di antara civitas akademika PGSD. Secara umum perspektif keunggulan perguruan tinggi mencakup keunggulan akademik (academic excellence), keunggulan layanan (service excellent), dan keunggulan penyelenggaraan (operational excellence). Keunggulan akademik menyangkut kepuasan dalam penciptaan, pemerolehan dan penyediaan ilmu pengetahuan dan pembentukan keterampilan. Keunggulan layanan terkait dengan segala bentuk interaksi antar civitas akademika dan pemangku kepentingan lainnya, yang berjalan lancar dan memuaskan semua pihak. Adapun keunggulan penyelenggaraan terkait dengan efektivitas dan efisiensi Program PGSD dalam menjalankan fungsi tri dharmanya.

Proses Kualitas Pendidikan pada Program PGSD
Menurut William E. Massy (Burke, 2005:174), “Proses kualitas pendidikan merupakan aktivitas-aktivitas terorganisir yang didedikasikan untuk meningkatkan dan menjamin kualitas pendidikan”. Lebih lanjut dijelaskan bahwa proses kualitas pendidikan mencakup lima domain aktivitas yang saling berkaitan, meskipun kehebatan suatu aktivitas tidak secara otomatis menghasilkan kinerja yang bagus bagi yang lain, tetapi kegagalan yang satu dapat menyebabkan kesulitan yang lain. Dalam audit akademik, proses kualitas pendidikan mencakup komponenkomponen dengan permasalahannya sebagai berikut. (1) Learning objectives. Apa yang harus diketahui dan dapat dikerjakan oleh lulusan PGSD? Bagaimana Prodi PGSD berkontribusi terhadap prospek penempatan alumni, kapasitas lulusan untuk memberikan kontribusi sosial dan peningkatan kualitas hidup? (2) Curricular design. Apa yang harus diajarkan, bagaimana urutannya, dan dari perspektif mana? Bahan ajar apa yang digunakan, bagaimana bahan ajar dikaitkan dengan bagian-bagian lain yang dipelajari mahasiswa, dan kaitan dengan sasaran belajar berikutnya? (3) Teaching and learning activities, Bagaimana proses pembelajaran diorganisasikan? Metode-metode apakah yang digunakan untuk menjelaskan bahan ajar, untuk menjawab pertanyaan dan mengembangkan interpretasi, untuk mendorong keterlibatan mahasiswa, dan untuk menyediakan balikan terhadap pekerjaan mahasiswa? Apakah pembelajaran berlangsung aktif? Apakah ITC dimanfaatkan secara efektif? (4) Student learning assesment, ukuran-ukuran dan indikator-indikator apakah yang digunakan untuk mengases belajar mahasiswa? Apakah ukuran dan indikator tersebut secara kontruktif sejalan dengan sasaran-sasaran belajar? Adakah perbedaan kemampuan mahasiswa saat awal dan akhir pembelajaran? Siapa yang bertanggungjawab terhadap asesmen pembelajaran, dan bagaimana hasil-hasil asesmen tersebut dapat memacu peningkatan proses pembelajaran mahasiswa dan dosen? (5) Implementation quality assurance, bagaimana pimpinan LPTK, fakultas, dan Jurusan/Prodi PGSD menjamin bahwa bahan ajar sesuai dengan tujuannya (instruksional, kurikuler, institusional, dan nasional), bahwa proses perkuliahan diselenggarakan secara konsisten, dan bahwa penilaian hasil belajar dilaksanakan sesuai rencana dan hasil-hasilnya dimanfaatkan secara efektif?
Penguatan Kapasitas Kelembagaan PGSD
Dalam HELTS 2003-2010 disebutkan tiga strategi pengembangan pendidikan tinggi, dua diantaranya dapat dikategorikan sebagai strategi penguatan kelembagaan yakni (1) otonomi dan desentralisasi, dan (2) kesehatan organisasi. Sebagaimana dijelaskan bahwa governance merupakan aspek inti pada setiap organisasi, tidak terkecuali pada sistem pendidikan tinggi. Sejak awal sejarahnya, perguruan tinggi membutuhkan cara pengelolaan yang berbeda dengan organisasi pemerintah, bisnis, atau industri. Secara universal diakui bahwa pendidikan tinggi mempunyai keunikan dalam mengembangkan sistem nilai dan norma dasar seperti dalam pencarian kebenaran, kejujuran, dan rasa saling menghormati. Di samping itu, kinerja akademik hanya dapat berkembang apabila perguruan tinggi diberi kewenangan dan otonomi yang luas. Keseimbanngan antara otonomi akademik dan sistem pengelolaan sumberdaya, tidak jarang menimbulkan masalah yang pelik. Selain itu perguruan tinggi tidak dapat terhindar dari perubahan, tekanan, dan harapan dari masyarakat dan sistem makro pengelolaan pendidikan tinggi. Agar Program PGSD dapat berperan secara optimal, maka sistem pengelolaan PGSD perlu dibenahi dan dikembangkan secara berkelanjutan.
Pembenahan kapasitas institusi dapat dilakukan dengan pendelegasian kewenangan yang lebih besar kepada perguruan tinggi, fakultas, dan jurusan/program studi. Perguruan tinggi yang otonom diharapkan dapat memilih dan menetapkan fokus masing-masing yang dilandasi oleh potensi, kekhasan dan nilai-nilai akademik universal serta tujuan pendidikan nasional. Sementara itu kesehatan organisasi institusi pendidikan tinggi diartikan sebagai suatu keadaan dimana organisasi berfungsi secara optimal dalam mewujudkan visi dan misinya yang telah ditetapkan, (Ditjen Dikti, 2004b: 23) dan dicirikan oleh karakteristik berikut: 1) berkembangnya kebebasan akademik; 2) terciptanya suasana akademik yang mendorong proses penelitian, inovasi, kreativitas dan pemunculan ide-ide bagi setiap individu; 3) berkembangnya sistem nilai, norma, tata tertib dan operasi standar lainnya yang memungkinkan terjadinya team building dan team spirit, sehingga memungkinkan seseorang atau kelompok untuk produktif secara maksimal; 4) berlakunya prinsip meritokrasi dengan baik sehingga setiap individu akan termotivasi untuk bekerja keras dan meraih keunggulan; 5) berkembangnya kemampuan memasarkan dan menjual ide-ide yang berkembang dari kegiatan penelitian; 6) berkembangnya kemampuan untuk menjalin kerjasama yang berkelanjutan di dalam maupun di luar perguruan tinggi; 7) terlaksananya akuntabilitas keuangan. Karakteristik kesehatan organisasi tersebut pada dasarnya telah diakomodasi dalam standar akreditasi Program Studi Sarjana (BAN-PT, 2008). Standar akreditasi program studi sarjana tersebut mencakup komitmen program studi sarjana untuk memberikan layanan prima dan efektivitas pendidikan yang terdiri atas tujuh standar yaitu Standar 1 tentang Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran, serta Strategi Pencapaian; Standar 2 tentang Tata Pamong, Kepemimpinan, Sistem Pengelolaan, dan Penjaminan Mutu; Standar 3 tentang Mahasiswa dan Lulusan; Standar 4 tentang Sumber daya manusia; Standar 5 tentang Kurikulum, Pembelajaran dan Suasana Akademik; Standar 6 tentang Pembiayaan, Sarana dan Prasarana, serta Sistem Informasi; dan Standar 7 tentang Penelitian, Pelayanan/ Pengabdian kepada Masyarakat, dan Kerjasama. Dengan demikian PGSD sebenarnya dapat menggunakan standar akreditasi ini sebagai rujukan untuk mengembangkan aktivitas-aktivitas yang berujung pada peningkatan kapasitas kelembagaan PGSD.

Akuntabilitas Pengelolaan PGSD
Praktek pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia cenderung lebih mengutamakan akuntabilitas internal. Sebagaimana dilansir dalam HELTS 2003-2010 (Ditjen Dikti, 2004: 26), governance dan sistem pengelolaan PTN maupun  PTS selama ini pada umumnya mengikuti peraturan yang secara seragam berlaku untuk seluruh jajaran unit pelayanan pemerintah. Pengelolaan terpusat seperti ini mengakibatkan tumbuhnya budaya birokrasi yang kuat di perguruan tinggi. Pimpinan perguruan tinggi merasa bahwa akuntabilitas mereka hanya kepada atasannya (single accountability) di pemerintah pusat, dan bukan kepada stakeholders secara keseluruhan, yaitu masyarakat perguruan tinggi (dosen,pegawai, dan mahasiswa), orangtua mahasiswa, pemerintah pusat dan daerah, dan masyarakat lainnya (penyedia kerja, alumni, industri, dan masyarakat umum lainnya). Menurut Burke (2005: 2), akuntabilitas membebankan enam tuntutan terhadap para pegawai atau agen-agen pemerintahan atau organisasi layanan umum, termasuk perguruan tinggi, yakni: pertama mereka harus menunjukkan bahwa mereka telah menggunakan kekuasaan secara memadai; kedua, mereka harus memperlihatkan bahwa mereka bekerja untuk mencapai misi atau berbagai prioritas yang ditetapkan oleh kantor atau organisasinya; ketiga, mereka harus melaporkan kinerjanya (“power is opaque, accountability is public”); keempat, dua kata “E” pengurusan umum, yakni efisiensi dan efektivitas, memerlukan perhitungan terhadap sumberdaya yang digunakan dan hasil-hasil yang diperoleh; kelima, mereka harus menjamin kualitas program dan layanan yang diberikan; dan keenam, mereka harus menunjukkan bahwa mereka melayani kebutuhan umum. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tujuan akuntabilitas program-program pada perguruan tinggi selalu bergeser sepanjang waktu dari efisiensi sistem, ke kualitas pendidikan, ke produktivitas organisasi, dan ke responsibilitas eksternal terhadap prioritas-prioritas masyarakat atau tuntutan pasar (Burke, 2005: 4). Berdasarkan konsepsi ini maka akuntabilitas pengelolaan sebuah perguruan tinggi, termasuk PGSD, tidak saja bersifat internal berupa tanggung gugat kepada atasan atau pihak yayasan saja, tetapi juga memiliki dimensi tanggung gugat kepada pihak-pihak luar (eksternal) sebagai pemangku kepentingan PGSD tersebut. Sehubungan dengan itu ada berbagai macam jenis akuntabilitas, sebagaimana dikemukakan Vidovich dan Slee (Burke, 2005: 3) sebagai berikut: 1) Upward accountability menunjukkan hubungan tradisional dalam bentuk tanggungjawab bawahan kepada atasan, mencakup akuntabilitas prosedural, birokratik, legal, dan vertikal, 2) Downward accountability berfokus pada tanggung jawab pimpinan terhadap bawahan dalam pengambilan keputusan atau akuntabilitas kesejawatan pada perguruan tinggi, 3) Inward accountability, sebagai organisasi yang didominasi oleh para profesional, maka berpusat pada tindakan staf pengajar dalam menerapkan berbagai standar profesional dan etis, yang disebut sebagai akuntabilitas profesional, 4) Outward accountability dimaksudkan terkait dengan pelanggan luar, para pemangku kepentingan, pendukung (donatur), dan pada akhirnya kepada masyarakat dalam arti luas.
Dengan berbagai macam tuntutan akuntabilitas tersebut maka pengelolaan PGSD harus memiliki responsibilitas terhadap berbagai tuntutan. Dalam konteks ini program akuntabilitas yang paling mempengaruhi adalah: 1) Prioritas negara, yang mencerminkan kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan masyarakat terhadap program-program dan layanan pendidikan tinggi, yang seringkali disampaikan oleh pejabat pemerintahan, dan juga oleh pemimpin-peminpin di luar pemerintahan, 2) Urusan akademik, yang melibatkan isu-isu dan kepentingan masyarakat akademis, khususnya para dosen, tenaga pendukung dan pengelola, 3) Tuntutan pasar, yakni mencakup kebutuhan-kebutuhan pelanggan dan tuntutan-tuntutan mahasiswa, orang tua, dunia usaha/industri, dan para pemangku kepentingan lainnya.
Burke (2005:21) menggambarkan ketiga tekanan program akuntabilitas tersebut sebagai tiga pilar akuntabilitas perguruan tinggi sebagai berikut. Prioritas negara, urusan akademik, dan tuntutan pasar masing-masing mencerminkan kepentingan kewarganegaraan, kesejawatan, dan budaya atau kepentingan komersial. Prioritas negara mencerminkan akuntabilitas politik, urusan akademik mewakili akuntabilitas profesional, dan tuntutan pasar mendorong akuntabilitas pasar. Setiap sudut segitiga akuntabilitas di atas memiliki sisi terang dan sisi gelap, merefleksikan berbagai kebutuhan dan kepentingan. Prioritas negara dapat mengangkat apa yang sangat dibutuhkan warga negara dari pendidikan tinggi, seperti guru-guru yang lebih baik, tenaga kerja yang terdidik, dan warga negara yang melek informasi. Urusan akademik dapat membangkitkan kebebasan inkuiri dan diskusi tentang berbagai gagasan, keyakinan, dan kebiasaan berdasarkan oleh keterbukaan, ilmu pengetahuan, dan obyektivitas. Hal ini juga dapat mencerminkan model reputasi sumberdaya dari pendidikan tinggi yang memandang kualitas kelembagaan lebih sebagai permasalahan rekrutmen mahasiswa yang paling cerdas, memperkerjakan dosen yang brilian, dan meningkatkan sebanyak-banyaknya sumberdaya.

Indikator Keunggulan Manajemen PGSD
Membangun citra keunggulan perguruan tinggi memang tidak mudah, apalagi menciptakan keunggulkan Program PGSD. Citra keunggulan ini perlu diupayakan secara berkelanjutan sebagai bagian dari penjaminan mutu pendidikan tinggi. Upaya semacam ini tentu memerlukan komitmen dan dukungan dari seluruh civitas akademika. Komitmen dalam suatu organisasi (Covey dalam Sonnenberg, 1993: 19), termasuk Program PGSD, dapat ditumbuh-kembangkan melalui empat tahap. Pertama, fase manajemen ilmiah, dalam fase ini civitas akademika dipandang terutama sebagai mahluk ekonomi yang memerlukan pemenuhan “perut”. Dalam fase ini manajemen dapat memotivasi civitas akademika terutama dengan menggunakan ganjaran dan hukuman, atau memberikan insentif bagi yang menjalankan tugas dengan baik, dan memberikan sanksi bagi yang melanggar atau tidak melaksanakan tugas. Fase kedua adalah fase hubungan kemanusiaan, dalam hal ini manajemen harus menerima bahwa sivitas akademika memiliki “hati”, sehingga meskipun tetap menggunakan kekuasaan dan pengendalian, pihak manajemen harus memperlakukan mereka dengan sopan, rasa hormat, sesuai adat kesusilaan, dan keterbukaan. Fase ketiga menekankan pada prinsip-prinsip sumberdaya manusia, yakni selain perut dan hati, manusia juga mempunyai “pikiran”. Untuk itu manajemen perlu mengekplorasi berbagai cara untuk menciptakan lingkungan yang kondusif, dan membangun budaya kerja yang dapat memberikan kesempatan berbagai bakat mereka berkembang, dan memberdayakan kreativitasnya untuk mencapai tujuan-tujuan perguruan tinggi. Fase keempat, atau terakhir, adalah paradigma manusia seutuhnya. Perguruan tinggi yang sudah mencapai tahap ini mampu memberikan “makna”, atau suatu perasaan telah mengerjakan sesuatu yang berharga. Pada tahap ini manajemen mengembangkan kapasitas mental civitas akademika sampai tingkat maksimal, dengan memberi jalan kepada pengembangan nilai-nilai, gagasan-gagasan, norma-norma, dan proses-proses pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan dan keahlian mereka, dan memberdayakan serta memberikan inspirasi bagi para civitas akademika. Apabila komitmen sudah mengakar pada seluruh civitas akademika PGSD maka tahap selanjutnya adalah mengembangkan indikator keunggulan manajemen PGSD. Standar akreditasi sebagaimana ditetapkan BAN-PT pada dasarnya dapat dijadikan rujukan untuk mengembangkan indikator keunggulan manajemen PGSD. Selanjutnya Indikator Layanan Umum meliputi antara lain: kepuasan pemangku kepentingan eksternal (pemerintah, orangtua, alumni, dunia industri atau usaha), dan tingkat aktivitas/kontak (seleksi kepemimpinan, reputasi perguruan tinggi, kesesuaian dengan kebutuhan masyarakat, tingkat kepuasan, kontribusi pendanaan, dan pilihan publik terhadap PGSD). Indikator Keilmuan/Penelitian mencakup antara lain: produktivitas (presentasi, publikasi, dan pendanaan penelitian), dan dampak (ketenaran, penghargaan, asesmen sejawat, dan pendanaan). Indikator Kepuasan Lapangan Kerja antara lain mencakup: iklim kerja, kemenarikan, pengunduran diri, kompensasi, kepuasan dan semangat kerja. Adapun indikator administrasi dan operasional dapat dilihat dari: ukuran-ukuran keuangan, kapasitas dan tingkat pengunaan, efisiensi dan efektivitas proses administrasi, rencana strategis dan tindak lanjutnya, serta efektivitas kepemimpinan. Dengan mengandaikan mengemudi “Mobil Program PGSD” maka pengelola PGSD dapat selalu memantau indikator-indikator pada dasbor di atas, sehingga Program PGSD dapat dikemudikan dengan lancar, dan terkendali dalam menyediakan layanan pendidikan untuk menghasilkan para calon guru yang profesional. Dengan dasbor hipotetis tersebut seluruh komponen penyelenggaraan sistem pendidikan guru SD dapat dideteksi secara berkelanjutan, sehingga kekeliruan pengelolaan dapat ditemu-kenali secara cepat dan tepat untuk kemudian diperbaiki. Dengan strategi pengelolaan semacam itulah PGSD dapat meninngkatkan keunggulan manajemen program studi, dan pada akhirnya berkontribusi pada kesehatan organisasi perguruan tinggi.

Penutup
Apabila dicermati rangkaian paparan di muka pada prinsipnya menunjukkan berbagai strategi dan cara-cara untuk menciptakan keunggulan manajemen Program PGSD, yang dapat berkontribusi dalam membangun citra keunggulan PT. PGSD pada dasarnya dapat dijadikan “flag carrier” bagi PT berdasarkan kenyataan bahwa pendidikan dasar (termasuk sekolah dasar) merupakan fondasi bagi jenjang pendidikan selanjutnya. Dengan demikian komitmen PT terhadap eksistensi dan pengembangan PGSD dapat menjadi sarana bagi PT untuk berperan dalam menyediakan layanan pendidikan dasar yang berkualitas. Program Studi PGSD merupakan program yang relatif paling prospektif di lingkungan FKIP maupun PT. Kebutuhan guru SD lebih banyak dibandingkan dengan kebutuhan guru pada jenjang sekolah lainnya. Dengan kata lain, lapangan kerja lulusan PGSD paling jelas dibandingkan dengan lulusan program studi kependidikan lainnya. Preferensi masyarakat juga mulai meningkat untuk menjadi guru SD terbukti dengan animo pendaftaran mahasiswa PGSD. Sehubungan dengan itu adalah menjadi kerugian besar apabila perguruan tinggi, tidak memprioritaskan pada pengembangan Program PGSD.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar