Selasa, 05 Maret 2013

ELEGI DAMAI UNTUK PORTO-HARIA



Aku Termenung Di Bawah Mentari
Di Antara Megahnya Alam Ini
Menikmati Indahnya Kasih-Mu
Kurasakan Damainya Hatiku
(Damai bersamamu, Chrisye)
Orang yang melantunkan lirik di atas sudah tiada. Sudah berpulang ke haribaan dengan jiwa yang tenang. Chrisye namanya. Legenda musik Indonesia yang memiliki suara yang emas. Satu dari musisi terbaik Indonesia yang pernah ada pada zamannya.  Larik lagu di atas adalah satu dari sekian banyak lagu yang digemari seantero Indonesia. Crishye memang piawai melantunkan lagu-lagu yang umumnya elegi, seperti penggalan kalimat-kalimat pendek di atas. Larik-larik itu, ditemani barisan nada yang tenang dan tak miring, mengantarkan pendengarnya pada perenungan mendalam.
Sebuah lagu yang mampu menerobos semua batas-batas atas nama apapun. Semua orang menerima lagu itu sebagai sebuah perenungan tentang sosok yang tak kasat mata, yang transenden, yang tak terbahasakan, namun imanen dan menjadi bagian dari yang ada saat ini. Dengan cara apakah sosok itu harus dikagumi? Chrisye menjawabnya dengan jujur, tanpa tedeng aling-aling, mengagumi keindahan semesta ini adalah cara terbaik untuk mengenal sosok itu. Ia adalah keindahan itu sendiri dan karena keindahan alam ini lahir dari kemurahannya.
Crishye memang berhasil membuat lagu itu terdengar begitu memikat. Tapi sedikit saja orang yang akhirnya kagum pada sosok dibalik lahirnya lagu itu. Johny Sahilatua adalah sosok itu. Adik kandung musisi Franky Sahilatua yang telah berpulang. Lagu itu lahir dari seorang putra Maluku, tepatnya Saparua, yang merindu sebuah kedamaian. Saya menerka-nerka, mungkinkah Sahilatua takjub dengan keindahan dan kedamaian di Maluku? Saya tidak tahu persis.
Jelasnya, alam adalah pemberian dari Sang Pencipta. Kalau itu kita sepakati, tak ada cara yang paling baik selain menerima dan mensyukurinya. Apapun bentuk keindahan alam itu, ia adalah pemberian cuma-cuma tanpa label kepemilikan atas nama siapapun. Tidak untuk satu atau dua orang saja sumberdaya alam itu ada. Sehingga tak patut kita menjadikannya sebagai sumber masalah. Apalagi harus saling beradu nyawa.
Tak salah jika saya menggunakan larik-larik lagu yang diciptakan Sahilatua untuk mengingatkan masyarakat Porto dan Haria bahwa tak ada gunanya berkonflik. Anak kandung konflik adalah kehancuran dan dendam yang mendalam. Tak ada secuil pun keuntungan yang didapat, bahkan, untuk alasan kepemilikan alam sekalipun. Memulai konflik adalah sama dengan begitu banyak langkah mundur. Berjalan mundur meninggalkan kemajuan yang telah dicapai dengan mengucurkan keringat yang tak terbilang jumlahnya. Dan ketika tersadar, kita sudah jauh tertinggal di belakang. Saat itu, melangkah maju pun harus berjalan di atas tulang-belulang peninggalan kekerasan. 
Pernahkah kita bertanya, apa yang paling diinginkan anak-anak kita? Mereka hanya ingin bermain dengan aman atau berangkat ke sekolah tanpa rasa takut. Masa depan mereka bahkan masih sangat jauh. Bukan hal yang sulit jika kita ingin memberikan yang terbaik bagi mereka. Berdamai dan hidup tentram. Tanpa dendam atau curiga. Menikmati keindahan dan kemegahan alam ini tanpa saling beradu nyawa. Sebab, sudah seharusnyalah kita melakukan hal itu. Tak ada satu alasan pun yang dapat membenarkan bahwa menghilangkan nyawa orang lain adalah penting untuk menikmati alam ini. Tuhan tidak kikir ketika ia memberikan ikan yang melimpah di laut dan hutan yang penuh dengan berbagai kekayaan. Ia bahkan tidak pernah merasa rugi jika alam yang diciptakan-Nya dengan begitu indah harus dinikmati orang lain. Alam yang tak satupun manusia sanggup melakukan hal yang sama, bahkan dengan teknologi canggih sekalipun. Alam ini sudah ada, bahkan sejak kedua kaki kita belum menyentuh tanah, kedua bola mata kita belum mampu melihat matahari terbit di sebalah timur. Atau, menikmati siluet jingga di ufuk barat pada senja yang indah.
Sungguh tak adil jika kesengsaraan dan dendam yang harus kita wariskan pada anak cucu kita. Dan, bukan kedamaian di tengah kemegahan alam. Mungkin inilah yang sementara diperjuangkan Sahilatua ketika ia menciptakan lagu Damai Bersamamu. Mari melihat lagi arti dalam larik lagunya.
 Jangan biarkan damai ini pergi
Jangan biarkan semuanya berlalu
Hanya padamu Tuhan
Tempatku berteduh
dari semua kepalsuan dunia
Kedamaian adalah yang paling dirindukan semua orang di dunia ini, dan saya yakin masyarakat Porto-Haria pun merindukan hal yang sama. Tak kurang penjelasan secara lisan, kerinduan akan kedamaian pun akhirnya menyelinap dalam larik-larik yang terdengar lirih di atas. Tidak ada yang sulit jika saja kita mau membuka diri dan saling berbagi. Apapun, banyak hal yang sudah terjadi di Porto dan Haria.
Berharap pada penanganan hukum saja mungkin tak cukup. Pengadilan pun mungkin tak ada artinya, jika dendam masih membatu di dalam hati, jika amarah masih sama seperti gunung es yang sebentar saja akan muncul ke permukaan dan menyebabkan konflik baru. Kedamaian membutuhkan keikhlasan untuk saling memaafkan, menutup telinga dari berbagai provokasi dan melupakan semua yang telah terjadi. Nyawa sudah melayang. Harta benda banyak yang hancur. Tak harus ada lagi yang menjadi korban. Tak harus ada lagi harta yang hilang percuma.
Tak ada cara lain lagi selain menghentikan semua bentuk kekerasan dan hidup saling berdampingan satu sama lain. Basudara e e.. masyarakat Porto dan Haria..sampe jua. seng ada guna katong baku pukul. Mari katong baku ganden tangan. Ikan su barmeng rame di laut. Rumput su tinggi di kabong. Lebe bae katong pi cari ikan. Pi bikin barsih kabong par siap ana cucu pung masa depan.

Senin, 19 November 2012

MENGUAK SEGELUMIK MASALAH PENDIDIKAN MALUKU (Catatan Pinggiran Untuk Menjelang Perhelatan Maluku I)




Tidak dapat dipungkiri bahwa dunia pendidikan selalu terkait dan terikat dengan aneka dimensi lain dalam kehidupan masyarakat, seperti sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Keterkaitan diantara mereka tersebut mengalami fluktuasi menuju pada pola hubungan saling mempengaruhi antar mereka dengan intensitas yang amat bervariasi . Lebih-lebih terhadap dimensi kehidupan politik, keterkaitan praktek penyelenggaraan pendidikan dengannya mencakup segenap lini termasuk pada wilayah yang amat penting yaitu kekuasaan. Sebagai suatu kawasan yang terkait dan terikat dengan kekuasaan, maka  pendidikan tidak bisa dianggap sebagai kawasan yang bersifat ‘sui generis’. Dalam pandangan positif, kawasan pendidikan merupakan suatu kawasan yang membutuhkan campur tangan kekuasaan agar dapat dioptimalkan menjadi lebih baik; Namun dalam pandangan negatif, persinggungan pendidikan dengan kekuasaan selalu berujung pada pemanfaatan pendidikan demi kepentingan penguasa..
Sejak tahun 2004 pemerintah mengeluarkan regulasi baru berupa Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah yang menuntut pembangunan pendidikan dioptimalkan di daerah. Konsekuensi atas hadirnya undang-undang tersebut, maka peran bupati dan walikota diharapkan lebih kokoh dalam melaksanaan otonomi pendidikan deng an mengacu pada empat argumen pokok dalam membuat kebijakan pendidikan, yakni: 1) peningkatan mutu; 2) efisiensi keuangan; 3) efisien administrasi; dan 4) perluasan kesempatan pendidikan. Wewenang paling besar untuk sektor pendidikan sejak dari prasekolah sampai pendidikan menengah atas merupakan urusan pemerintah kabupaten atau kota. Oleh karena itu, dengan daerah diberi kesempatan membuat grand design yang secara kontekstual sesuai dengan kondisi wilayahnya, diharapkan terjadi peningkatan mutu pendidikan lebih cepat dan tepat. Sejalan dengan desentralisasi pendidikan, daerah tingkat Kabupaten dan Kota memiliki kewenangan untuk menggarap pengembangan pendidikan sesuai dengan kontek, potensi, dan kebutuhan masyarakat di daerah tersebut. Sementara itu, penerapan desentralisasi pendidikan disertai dengan penataan fungsi kelembagaan pendidikan mulai dari Dinas Pendidikan di tingkat propinsi sebagai pihak yang mempunyai kewenangan dalam perumus dan pelaksana kebijakan, Dinas Pendidikan Kabupaten dan Kota sebagai operasionalisasi kebijakan dan lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan sebagai kontrol terhadap kualitas pengembangan profesionalitas pendidikan. Dalam kenyataaannya, fungsi ini belum berjalan sebagaimana mestinya. Hal itu dikarenakan pemahaman dan kesiapan sebagian besar pengelola pendidikan di daerah terhadap konsep desentralisasi pendidikan belum memadai. Salah satu isu strategis dengan desentralisasi pendidikan adalah perlu diupayakan Pemerintah Daerah yang dapat memberikan pelayanan pendidikan kepada masyarakat di bidang pendidikan lebih baik.
Implementasi desentralisasi pendidikan amat mementingkan The Stakeholder Society, yang oleh Ackerman dan Alscott, diformulasikan secara sederhana, yakni sebagai masyarakat yang para anggotanya mempunyai kepentingan bersama untuk membangun masyarakatnya sendiri. Terdapat lima aktor dalam the stakeholder society, yaitu: 1) masyarakat lokal; 2) orangtua; 3) peserta didik; 4) negara; 5) pengelola profesional pendidikan. Fungsi negara bukan lagi sebagai penguasa juga bukan sebagai pemegang kekuasaan tunggal yang bertujuan melestarikan kekuasaan negara, tetapi sebagai partner yang memfasilitasi proses pendidikan yang disepakati bersama. Tugas negara antara lain membantu adanya standar nasional bahkan internasional dari lembaga-lembaga pendidikan dan membantu daerah yang kekurangan sumber daya manusia dan sumber pembiayaan. Oleh karenanya, kebijakan desentralisasi pendidikan diyakini dapat berdampak secara positif dalam banyak hal. Di antara dampak positif yang diyakini dapat diperoleh dari kebijakan desentralisasi pendidikan adalah peningkatan mutu, efisien keuangan, efisien administrasi, dan perluasan kesempatan atau pemerataan pendidikan Namun realitasnya, ketika desentralisasi pendidikan telah diterapkan banyak menunjukkan masalah. 
Adanya beberapa masalah dalam penerapan desentralisasi pendidikan. Paling tidak ada empat masalah penerapan desentralisasi pendidikan yang ditemukan. Pertama, peraturan-peraturan otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan yang ada belum sepenuhnya dapat mendukung terimplementasikan paradigma dan model manajemen partisipatif berpusat kekuatan daerah otonom. Kedua, belum semua daerah otonom memiliki persepsi, tafsir, dan komitmen yang sama dan konstruktif untuk reformasi dan pembaharuan manajemen pendidikan. Ketiga, budaya birokrasi dan pemerintahan yang berkembang selama berlangsungnya otonomi daerah justru sangat segregatif dan involutif, dalam arti hanya mementingkan kepenting an daerah otonomnya sendiri dan memperumit manajemen lingkungan daerah otonom. Keempat, masih lemahnya koordinasi dan sinergi antar daerah otonom dalam manajemen pend idikan. Dari empat kelemahan di atas, proses penyelenggaraan pendidikan dewasa ini telah berlangsung secara parokial dan involutif. Proses parokialisme dan involusi dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut kemudian menciptakan apa yang dikenal dengan ‘sentralisme lokal’ dan ‘regulasi kaku’.
Realitas Pendidikan Maluku
            Berbagai persoalan dan fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan di negeri seribu pulau ini di sebabkan oleh lemahnya fungsi kontrol, pengawasan serta monitoring Pemerintah Provinsi terhadap dunia pendidikan dan terjadi di hampir seluruh kabupaten di Provinsi tercinta ini sehingga alokasi dana pendidikan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) banyak disalahgunakan oleh Para pengambil kebijakan. Berbagai fakta diantaranya; Kasus Korupsi Dana DAK bidang pendidikan Kabupaten Buru di tahun  anggaran 2007 sebesar Rp.10,75 milyar; Kasus Ko­rupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang pendidikan Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) tahun 2008 senilai Rp 16 milyar; Kasus Korupsi dana Alokasi khusus (DAK) Pendidikan Kabupaten MTB tahun 2011-2012 sekitar 7,42 Milyar; Dugaan penyimpangan dana PLS Tahun 2010-2011 di Disdikpora Maluku; Keterlambatan pembayaran Dana sertifikasi guru di hampir seluruh kabupaten; Keterbatasan infrastruktur (sarana dan Prasarana) di Maluku terkait dengan peningkatan kualitas pendidikan, khususnya sebagai wilayah kepulauan. Orientasi penggunaan dana pendidikan oleh masing-masing PEMDA lebih mengutamakan program-program fisik ketimbang pengembangan kapasitas sumber daya manusia yang mengakibatkan rendahnya kompetensi guru dan manajemen pengelolaan pendidikan di Maluku yang masih belum menyentuh permasalahan.
Sementara hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) yang dilaksanakan Provinsi Maluku tanggal 30 Juli 2012 menunjukan bahwa skor kompetensi guru TK 38, 62 (ranking 29 dari 33 provinsi), guru SD 36,53 (ranking 31 dari 33 provinsi) Guru SMP 41,31 (ranking 33 dari 33 provinsi) dan kompetensi guru SMA/SMK 40,33 (ranking 32 dari 33 provinsi). Fenomena dan fakta ini menggambarkan masih buramnya peta kualitas pendidikan di Maluku, karena hakekatnya kualitas pendidikan terletak pada kompetensi tenaga pendidiknya. Dan masih banyak lagi fenomena-fenomena yang belum terkuak sebagai penghambat peningkatan kualitas pendidikan di Negeri ini.

Prioritas Kebijakan Pendidikan Meliputi:
Pemerataan dan perluasan akses
Secara umum, kebijakan pemerataan dan perluasan akses pendidikan diarahkan untuk memperluas daya tampung satuan pendidikan sesuai dengan prioritas nasional, serta memberikan kesempatan yang sama bagi semua peserta didik dari berbagai golongan masyarakat yang berbeda baik secara ekonomi, gender, lokasi tempat tinggal dan tingkat kemampuan intelektual serta kondisi fisik. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas penduduk Indonesia untuk dapat belajar sepanjang hayat dalam rangka mewujudkan sumberdaya manusia yang handal, profesional, dan berdaya saing tinggi dalam era global.
Mutu, relevansi, dan daya saing
Peningkatan mutu, relevansi dan daya saing pendidikan juga merupakan fokus kebijakan strategis pendidikan, yang diharapkan mampu memberikan dampak bagi bangsa sehingga mampu berinteraksi dan dapat hidup bersama dalam keragaman sosial dan budaya, serta meningkatkan taraf hidup dan memiliki daya saing yang tinggi, yang tercermin dalam penghayatan dan pengamalan nilai-nilai iman, taqwa, akhlak mulia, etika, kepribadian tangguh, kualitas fisik, serta memiliki wawasan kebangsaan yang tinggi. Upaya meningkatkan mutu, relevansi dan daya saing pendidikan, antara lain dilakukan melalui penetapan dan pemberlakuan Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang merupakan standar atau acuan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan, yang meliputi beberapa komponen, yaitu (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar komptensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian pendidikan; dan peningkatan mutu dan relevansi secara berkelanjutan dilaksanakan pemerintah daerah, dan satuan pendidikan secara terpadu yang pengelolaannya dikoordinasikan secara terpusat.
Governance, akuntabilitas, dan pencitraan publik
Kebijakan governance dan akuntabilitas meliputi sistem pembiayaan berbasis kinerja, baik di tingkat satuan pendidikan maupun pemerintah daerah, dan manajemen berbasis sekolah, untuk membantu pemerintah daerah dalam mengalokasikan sumberdaya serta memonitor kinerja pendidikan secara keseluruhan. Selain itu, peran serta masyarakat dalam perencanaan, pengelolaan, dan pengawasan kinerja pendidikan ditingkatkan melalui peran komite sekolah/satuan pendidikan dan dewan pendidikan. Tekad pemerintah untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN serta memberikan pelayanan yang lebih bermutu, efektif, dan efisien sesuai kebutuhan masyarakat dan tuntutan perkembangan jaman. Pemerintahan yang bersih dari KKN diwujudkan melalui internalisasi etos kerja serta disiplin kerja yang tinggi sebagai bentuk akuntabilitas aparatur negara serta perwujudan profesionalisme aparatur,  meningkatkan efisiensi dan mutu layanan, diperlukan pengembangan  kapasitas daerah serta penataan governance pendidikan yang sehat dan akuntabel, baik pada tingkat satuan pendidikan maupun tingkat kabupaten/kota.



Prinsip-Prinsip Pengembangan Kebijakan Pendidikan Oleh Pemerintah Daerah
Dalam mengembangkan kebijakan pendidikan, perlu dipertimbangkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1)      Belajar dari pengalaman masa lalu (lesson learned)
Pengalaman masa lalu, baik positif maupun negatif, merupakan hal penting dan perlu dipertimbangkan dalam merumuskan dan menentukan kebijakan, sehingga dapat dirumuskan langkah-langkah antisipasi, pananggulangan dan alternatif solusi atas berbagai permasalahan dan kendala yang mungkin dihadapi, serta upaya-upaya yang mengarah pada perbaikan dan meningkatkan kinerja dan mutu di masa mendatang. Tanpa belajar dari pengalaman masa lalu, sangat mungkin kebijakan pendidikan yang diambil akan mengalami kendala seperti yang dialami sebelumnya, dan hasil/dampaknya pun tak akan jauh berbeda dari hasil yang pernah dicapai;
2)      Berkesinambungan
Kebijakan hendaknya merupakan kesinambungan dari kebijakan sebelumnya, sehingga terjadi kesinambungan arah dan tujuan. Upaya peningkatan atau perbaikan tidak selamanya harus bermula dari nol, melainkan dilakukan dengan mempertimbangkan aspek-aspek positif untuk dipertahankan dan jika perlu dikembangkan, dan mengurangi serta mencari alternatif solusi dari aspek- aspek negatif yang berpotensi sebagai penghambat.
3)      Orientasi global dan masa mendatang
Kebijakan pendidikan hendaknya berorientasi pada kondisi dan persaingan global, dan mampu mengantisipasi kebutuhan, tantangan, dan perkembangan di masa mendatang. Jika hal ini tidak diperhatikan, dampak dari kebijakan ini tak akan mampu mengatrol mutu  pendidikan yang tercermin dari sumberdaya yang handal, profesional, dan berdaya saing tinggi dalam era global. Jika hal ini, yang terjadi bukan tidak mungkin peringkat Indek Pembangunan Manusia Indonesia tetap pada urutan bawah, dan bahkan semakin merosot;
4)      Jaminan dan kepastian hukum
Kebijakan yang dirumuskan, perlu disertai jaminan dan kepastian hukum yang akan mendukung implementasi kebijakan tersebut. Jika tidak, kebijakan sebaik apapun akan menghadapi kendala dan hambatan karena tak ada jaminan hukum yang mengatur dalam implementasinya.

Tulisan ini berdasarkan realita dan problematis pendidikan di Maluku dan diharapkan menjadi pijakan bagi Gubernur Maluku kedepan untuk memiliki komitmen mengembangkan pendidikan di daerah ini dan melakukan Revitalisasi Sistem Pendidikan Demi Masa depan Anak-Anak Negeri.

MENGUAK SEGELUMIK MASALAH PENDIDIKAN MALUKU (Catatan Pinggiran Untuk Menjelang Perhelatan Maluku I)



Tidak dapat dipungkiri bahwa dunia pendidikan selalu terkait dan terikat dengan aneka dimensi lain dalam kehidupan masyarakat, seperti sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Keterkaitan diantara mereka tersebut mengalami fluktuasi menuju pada pola hubungan saling mempengaruhi antar mereka dengan intensitas yang amat bervariasi . Lebih-lebih terhadap dimensi kehidupan politik, keterkaitan praktek penyelenggaraan pendidikan dengannya mencakup segenap lini termasuk pada wilayah yang amat penting yaitu kekuasaan. Sebagai suatu kawasan yang terkait dan terikat dengan kekuasaan, maka  pendidikan tidak bisa dianggap sebagai kawasan yang bersifat ‘sui generis’. Dalam pandangan positif, kawasan pendidikan merupakan suatu kawasan yang membutuhkan campur tangan kekuasaan agar dapat dioptimalkan menjadi lebih baik; Namun dalam pandangan negatif, persinggungan pendidikan dengan kekuasaan selalu berujung pada pemanfaatan pendidikan demi kepentingan penguasa.
Sejak tahun 2004 pemerintah mengeluarkan regulasi baru berupa Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah yang menuntut pembangunan pendidikan dioptimalkan di daerah. Konsekuensi atas hadirnya undang-undang tersebut, maka peran bupati dan walikota diharapkan lebih kokoh dalam melaksanaan otonomi pendidikan deng an mengacu pada empat argumen pokok dalam membuat kebijakan pendidikan, yakni: 1) peningkatan mutu; 2) efisiensi keuangan; 3) efisien administrasi; dan 4) perluasan kesempatan pendidikan. Wewenang paling besar untuk sektor pendidikan sejak dari prasekolah sampai pendidikan menengah atas merupakan urusan pemerintah kabupaten atau kota. Oleh karena itu, dengan daerah diberi kesempatan membuat grand design yang secara kontekstual sesuai dengan kondisi wilayahnya, diharapkan terjadi peningkatan mutu pendidikan lebih cepat dan tepat. Sejalan dengan desentralisasi pendidikan, daerah tingkat Kabupaten dan Kota memiliki kewenangan untuk menggarap pengembangan pendidikan sesuai dengan kontek, potensi, dan kebutuhan masyarakat di daerah tersebut. Sementara itu, penerapan desentralisasi pendidikan disertai dengan penataan fungsi kelembagaan pendidikan mulai dari Dinas Pendidikan di tingkat propinsi sebagai pihak yang mempunyai kewenangan dalam perumus dan pelaksana kebijakan, Dinas Pendidikan Kabupaten dan Kota sebagai operasionalisasi kebijakan dan lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan sebagai kontrol terhadap kualitas pengembangan profesionalitas pendidikan. Dalam kenyataaannya, fungsi ini belum berjalan sebagaimana mestinya. Hal itu dikarenakan pemahaman dan kesiapan sebagian besar pengelola pendidikan di daerah terhadap konsep desentralisasi pendidikan belum memadai. Salah satu isu strategis dengan desentralisasi pendidikan adalah perlu diupayakan Pemerintah Daerah yang dapat memberikan pelayanan pendidikan kepada masyarakat di bidang pendidikan lebih baik.
Implementasi desentralisasi pendidikan amat mementingkan The Stakeholder Society, yang oleh Ackerman dan Alscott, diformulasikan secara sederhana, yakni sebagai masyarakat yang para anggotanya mempunyai kepentingan bersama untuk membangun masyarakatnya sendiri. Terdapat lima aktor dalam the stakeholder society, yaitu: 1) masyarakat lokal; 2) orangtua; 3) peserta didik; 4) negara; 5) pengelola profesional pendidikan. Fungsi negara bukan lagi sebagai penguasa juga bukan sebagai pemegang kekuasaan tunggal yang bertujuan melestarikan kekuasaan negara, tetapi sebagai partner yang memfasilitasi proses pendidikan yang disepakati bersama. Tugas negara antara lain membantu adanya standar nasional bahkan internasional dari lembaga-lembaga pendidikan dan membantu daerah yang kekurangan sumber daya manusia dan sumber pembiayaan. Oleh karenanya, kebijakan desentralisasi pendidikan diyakini dapat berdampak secara positif dalam banyak hal. Di antara dampak positif yang diyakini dapat diperoleh dari kebijakan desentralisasi pendidikan adalah peningkatan mutu, efisien keuangan, efisien administrasi, dan perluasan kesempatan atau pemerataan pendidikan Namun realitasnya, ketika desentralisasi pendidikan telah diterapkan banyak menunjukkan masalah.  
Adanya beberapa masalah dalam penerapan desentralisasi pendidikan. Paling tidak ada empat masalah penerapan desentralisasi pendidikan yang ditemukan. Pertama, peraturan-peraturan otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan yang ada belum sepenuhnya dapat mendukung terimplementasikan paradigma dan model manajemen partisipatif berpusat kekuatan daerah otonom. Kedua, belum semua daerah otonom memiliki persepsi, tafsir, dan komitmen yang sama dan konstruktif untuk reformasi dan pembaharuan manajemen pendidikan. Ketiga, budaya birokrasi dan pemerintahan yang berkembang selama berlangsungnya otonomi daerah justru sangat segregatif dan involutif, dalam arti hanya mementingkan kepenting an daerah otonomnya sendiri dan memperumit manajemen lingkungan daerah otonom. Keempat, masih lemahnya koordinasi dan sinergi antar daerah otonom dalam manajemen pend idikan. Dari empat kelemahan di atas, proses penyelenggaraan pendidikan dewasa ini telah berlangsung secara parokial dan involutif. Proses parokialisme dan involusi dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut kemudian menciptakan apa yang dikenal dengan ‘sentralisme lokal’ dan ‘regulasi kaku’.
Realitas Pendidikan Maluku
            Berbagai persoalan dan fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan di negeri seribu pulau ini di sebabkan oleh lemahnya fungsi kontrol, pengawasan serta monitoring Pemerintah Provinsi terhadap dunia pendidikan dan terjadi di hampir seluruh kabupaten di Provinsi tercinta ini sehingga alokasi dana pendidikan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) banyak disalahgunakan oleh Para pengambil kebijakan. Berbagai fakta diantaranya; Kasus Korupsi Dana DAK bidang pendidikan Kabupaten Buru di tahun  anggaran 2007 sebesar Rp.10,75 milyar; Kasus Ko­rupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang pendidikan Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) tahun 2008 senilai Rp 16 milyar; Kasus Korupsi dana Alokasi khusus (DAK) Pendidikan Kabupaten MTB tahun 2011-2012 sekitar 7,42 Milyar; Dugaan penyimpangan dana PLS Tahun 2010-2011 di Disdikpora Maluku; Keterlambatan pembayaran Dana sertifikasi guru di hampir seluruh kabupaten; Keterbatasan infrastruktur (sarana dan Prasarana) di Maluku terkait dengan peningkatan kualitas pendidikan, khususnya sebagai wilayah kepulauan. Orientasi penggunaan dana pendidikan oleh masing-masing PEMDA lebih mengutamakan program-program fisik ketimbang pengembangan kapasitas sumber daya manusia yang mengakibatkan rendahnya kompetensi guru dan manajemen pengelolaan pendidikan di Maluku yang masih belum menyentuh permasalahan.
Sementara hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) yang dilaksanakan Provinsi Maluku tanggal 30 Juli 2012 menunjukan bahwa skor kompetensi guru TK 38, 62 (ranking 29 dari 33 provinsi), guru SD 36,53 (ranking 31 dari 33 provinsi) Guru SMP 41,31 (ranking 33 dari 33 provinsi) dan kompetensi guru SMA/SMK 40,33 (ranking 32 dari 33 provinsi). Fenomena dan fakta ini menggambarkan masih buramnya peta kualitas pendidikan di Maluku, karena hakekatnya kualitas pendidikan terletak pada kompetensi tenaga pendidiknya. Dan masih banyak lagi fenomena-fenomena yang belum terkuak sebagai penghambat peningkatan kualitas pendidikan di Negeri ini.

Prioritas Kebijakan Pendidikan Meliputi:
Pemerataan dan perluasan akses
Secara umum, kebijakan pemerataan dan perluasan akses pendidikan diarahkan untuk memperluas daya tampung satuan pendidikan sesuai dengan prioritas nasional, serta memberikan kesempatan yang sama bagi semua peserta didik dari berbagai golongan masyarakat yang berbeda baik secara ekonomi, gender, lokasi tempat tinggal dan tingkat kemampuan intelektual serta kondisi fisik. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas penduduk Indonesia untuk dapat belajar sepanjang hayat dalam rangka mewujudkan sumberdaya manusia yang handal, profesional, dan berdaya saing tinggi dalam era global.
Mutu, relevansi, dan daya saing
Peningkatan mutu, relevansi dan daya saing pendidikan juga merupakan fokus kebijakan strategis pendidikan, yang diharapkan mampu memberikan dampak bagi bangsa sehingga mampu berinteraksi dan dapat hidup bersama dalam keragaman sosial dan budaya, serta meningkatkan taraf hidup dan memiliki daya saing yang tinggi, yang tercermin dalam penghayatan dan pengamalan nilai-nilai iman, taqwa, akhlak mulia, etika, kepribadian tangguh, kualitas fisik, serta memiliki wawasan kebangsaan yang tinggi. Upaya meningkatkan mutu, relevansi dan daya saing pendidikan, antara lain dilakukan melalui penetapan dan pemberlakuan Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang merupakan standar atau acuan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan, yang meliputi beberapa komponen, yaitu (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar komptensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian pendidikan; dan peningkatan mutu dan relevansi secara berkelanjutan dilaksanakan pemerintah daerah, dan satuan pendidikan secara terpadu yang pengelolaannya dikoordinasikan secara terpusat.
Governance, akuntabilitas, dan pencitraan publik
Kebijakan governance dan akuntabilitas meliputi sistem pembiayaan berbasis kinerja, baik di tingkat satuan pendidikan maupun pemerintah daerah, dan manajemen berbasis sekolah, untuk membantu pemerintah daerah dalam mengalokasikan sumberdaya serta memonitor kinerja pendidikan secara keseluruhan. Selain itu, peran serta masyarakat dalam perencanaan, pengelolaan, dan pengawasan kinerja pendidikan ditingkatkan melalui peran komite sekolah/satuan pendidikan dan dewan pendidikan. Tekad pemerintah untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN serta memberikan pelayanan yang lebih bermutu, efektif, dan efisien sesuai kebutuhan masyarakat dan tuntutan perkembangan jaman. Pemerintahan yang bersih dari KKN diwujudkan melalui internalisasi etos kerja serta disiplin kerja yang tinggi sebagai bentuk akuntabilitas aparatur negara serta perwujudan profesionalisme aparatur,  meningkatkan efisiensi dan mutu layanan, diperlukan pengembangan  kapasitas daerah serta penataan governance pendidikan yang sehat dan akuntabel, baik pada tingkat satuan pendidikan maupun tingkat kabupaten/kota.



Prinsip-Prinsip Pengembangan Kebijakan Pendidikan Oleh Pemerintah Daerah
Dalam mengembangkan kebijakan pendidikan, perlu dipertimbangkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1)      Belajar dari pengalaman masa lalu (lesson learned)
Pengalaman masa lalu, baik positif maupun negatif, merupakan hal penting dan perlu dipertimbangkan dalam merumuskan dan menentukan kebijakan, sehingga dapat dirumuskan langkah-langkah antisipasi, pananggulangan dan alternatif solusi atas berbagai permasalahan dan kendala yang mungkin dihadapi, serta upaya-upaya yang mengarah pada perbaikan dan meningkatkan kinerja dan mutu di masa mendatang. Tanpa belajar dari pengalaman masa lalu, sangat mungkin kebijakan pendidikan yang diambil akan mengalami kendala seperti yang dialami sebelumnya, dan hasil/dampaknya pun tak akan jauh berbeda dari hasil yang pernah dicapai;
2)      Berkesinambungan
Kebijakan hendaknya merupakan kesinambungan dari kebijakan sebelumnya, sehingga terjadi kesinambungan arah dan tujuan. Upaya peningkatan atau perbaikan tidak selamanya harus bermula dari nol, melainkan dilakukan dengan mempertimbangkan aspek-aspek positif untuk dipertahankan dan jika perlu dikembangkan, dan mengurangi serta mencari alternatif solusi dari aspek- aspek negatif yang berpotensi sebagai penghambat.
3)      Orientasi global dan masa mendatang
Kebijakan pendidikan hendaknya berorientasi pada kondisi dan persaingan global, dan mampu mengantisipasi kebutuhan, tantangan, dan perkembangan di masa mendatang. Jika hal ini tidak diperhatikan, dampak dari kebijakan ini tak akan mampu mengatrol mutu  pendidikan yang tercermin dari sumberdaya yang handal, profesional, dan berdaya saing tinggi dalam era global. Jika hal ini, yang terjadi bukan tidak mungkin peringkat Indek Pembangunan Manusia Indonesia tetap pada urutan bawah, dan bahkan semakin merosot;
4)      Jaminan dan kepastian hukum
Kebijakan yang dirumuskan, perlu disertai jaminan dan kepastian hukum yang akan mendukung implementasi kebijakan tersebut. Jika tidak, kebijakan sebaik apapun akan menghadapi kendala dan hambatan karena tak ada jaminan hukum yang mengatur dalam implementasinya.

Tulisan ini berdasarkan realita dan problematis pendidikan di Maluku dan diharapkan menjadi pijakan bagi Gubernur Maluku kedepan untuk memiliki komitmen mengembangkan pendidikan di daerah ini dan melakukan Revitalisasi Sistem Pendidikan Demi Masa depan Anak-Anak Negeri.