A.
Latar Belakang
Sumber
daya alam merupakan salah satu modal dasar dalam pembangunan nasional, oleh
karena itu harus dimanfaatkan sebesar besarnya untuk kepentingan rakyat dengan
memperhatikan kelestarian hidup sekitar. Salah satu kegiatan dalam memanfaatkan
sumber daya alam adalah kegiatan penambangan bahan galian, tetapi
kegiatan-kegiatan penambangan selain menimbulkan dampak positif juga dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup terutama berubahnya
estetika lingkungan, habitat flora dan fauna menjadi rusak, penurunan kualitas
tanah, penurunan kualitas air atau penurunan permukaan air tanah, timbulnya
debu dan kebisingan. Sumber daya mineral yang berupa endapan bahan galian memiliki
sifat khusus dibandingkan dengan sumber daya lain yaitu biasanya disebut wasting
assets atau diusahakan ditambang, maka bahan galian tersebut tidak akan
“tumbuh” atau tidak dapat diperbaharui kembali. Dengan kata lain industri
pertambangan merupakan industri dasar tanpa daur, oleh karena itu di dalam
mengusahakan industri pertambangan akan selalu berhadapan dengan sesuatu yang
serba terbatas, baik lokasi, jenis, jumlah maupun mutu materialnya.
Keterbatasan tersebut ditambah lagi dengan usaha meningkatkan keselamatan kerja
serta menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Dengan demikian dalam
mengelola sumberdaya mineral diperlukan penerapan sistem penambangan yang
sesuai dan tepat, baik ditinjau dari segi teknik maupun ekonomis, agar
perolehannya dapat optimal (Prodjosoemanto, 2006).
Sektor
pertambangan adalah merupakan salah satu sektor yang dapat dikembangkan dengan
baik dan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia asalkan dapat
dikelolah dengan baik dan bertanggung jawab. Pembangunan sektor pertambangan
haruslah diselenggarakan secara terpadu dengan pembangunan daerah dan pengembangan wilayah. Dalam konteks
pembangunan sektor pertambangan secara terpadu ini, maka jelas fungsi dan peran
sektor pertambangan rakyat terutama untuk mewujudkan aspek pemerataan dan
perluasan lapangan kerja didaerah, khususnya pada sektor pertambangan dan dapat
terdistribusi secara layak pada masyarakat luas. Pada umunya di Indonesia, para
pengusaha pertambangan rakyat masih
menggunakan cara penambangan dan pengelolaan secara tradisional, namun
perhatian dalam melestarikan lingkungan serta penanganan limbahnya masih sangat
rendah. Tambang Skala Kecil (Artisanal and Small-scale Mining/ASM)
memainkan peranan ekonomi yang penting di banyak negara berkembang. Tambang
skala kecil dapat sangat membahayakan lingkungan dan seringkali menghasilkan
dampak kesehatan dan resiko keselamatan yang serius bagi pekerja dan masyarakat
di sekitarnya. Sebagai contoh, pada kegiatan usaha
pertambangan emas skala kecil, pengolahan bijih dilakukan dengan proses
amalgamasi dimana merkuri (Hg) digunakan sebagai media untuk mengikat emas.
Kegiatan
pertambangan bahan galian berharga dari lapisan bumi telah berlangsung sejak
lama. Selama kurun waktu 50 tahun, konsep dasar pengolahan relatif tidak
berubah, yang berubah adalah skala kegiatannya. Mekanisasi peralatan
pertambangan telah menyebabkan skala pertambangan semakin membesar. Perkembangan
teknologi pengolahan menyebabkan ekstraksi bijih kadar rendah menjadi lebih
ekonomis, sehingga semakin luas dan semakin dalam mencapai lapisan
bumi jauh di
bawah permukaan. Hal ini menyebabkan kegiatan tambang menimbulkan dampak
lingkungan yang sangat besar dan bersifat penting. Pengaruh kegiatan
pertambangan mempunyai dampak yang sangat signifikan terutama berupa pencemaran
air permukaan dan air tanah (Arif, 2007). Masyarakat yang menambang ini umumnya
memiliki sejumlah kendala antara lain seperti: modal yang terbatas, kemampuan
teknis penambangan yang rendah, minimnya pemahaman standard lingkungan yang
layak, penggunaan peralatan yang tradisional dan sederhana. Umumnya mereka ini
bekerja dengan membentuk kelompok kecil dengan keterikatan kerja yang longgar,
terkadang masih memiliki keterkaitan tali persaudaraan. Seperti juga perusahaan
pertambangan raksasa, masyarakat yang menambang ini juga dituding sebagai
sumber terjadinya degradasi lingkungan. Mulai dari rusaknya bentang alam,
lenyapnya vegetasi permukaan, meningkatnya erosi, bahkan peristiwa banjir dan
kekeringan, dan sejumlah kerusakan lingkungan lainnya (Farrell, L. et al., 2004).
Meskipun
dianggap termasuk sebagai pemicu peristiwa degradasi lingkungan, ancaman yang
paling serius dari mereka ternyata adalah adanya pencemaran merkuri. Pencemaran
ini terjadi sebagai akibat para penambang (dalam hal ini adalah penambang emas
primer) tersebut menggunakan merkuri dalam usaha memisahkan emas dari material
pembawanya. Selanjutnya merkuri yang tercampur dengan dengan air buangan
kemudian mencemari air tanah dan sungai. Bahkan pada tahun 2008 penambang
artisanal dianggap sebagai salah satu dari sepuluh penyebab terjadinya
pencemaran terparah terbesar di dunia (Ericson, B., et al., 2008). Mengingat sifat merkuri yang
berbahaya, maka penyebaran logam ini perlu diawasi agar penanggulangannya dapat
dilakukan sedini mungkin secara terarah. Selain itu, untuk menekan jumlah
limbah merkuri, maka perlu dilakukan perbaikan sistem pengolahan yang dapat
menekan jumlah limbah yang dihasilkan akibat pengolahan dan pemurnian emas.
Untuk mencapai hal tersebut di atas, maka diperlukan upaya pendekatan melalui
penanganan tailing atau limbah B3 yang berwawasan lingkungan dan sekaligus
peningkatan efisiensi penggunaan merkuri untuk meningkatkan perolehan (recovery) logam emas.
Pendataan penyebaran merkuri akibat
penambangan emas rakyat pernah dilakukan di wilayah pertambangan emas Gunung
Botak Pulau Buru dan hasilnya menunjukkan adanya penurunan kualitas lingkungan
akibat limbah merkuri yang cukup tinggi baik pada endapan sungai, tanah maupun
air. Oleh karenanya pendataan penyebaran merkuri di lokasi pertambangan emas
Gunung Botak Pulau Buru perlu dilakukan sebagai implementasi dari pembangunan
berkelanjutan yang ramah lingkungan. Pendataan
penyebaran merkuri di lingkungan usaha pertambangan emas rakyat dimaksudkan
untuk menginventarisasi sebaran merkuri dan logam berat lainnya, yang dapat
digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam pencegahan penurunan kualitas
lingkungan. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui zona penyebaran merkuri dan
logam berat lainnya sehingga penyebarluasan logam berbahaya ini dapat
diantisipasi sedini mungkin, serta daerah yang mengalami penurunan kualitas
lingkungan dapat dideteksi agar tidak terjadi pencemaran lingkungan yang lebih
luas.
B.
Dampak
Penambangan Terhadap Kerusakan Lingkungan
Lingkungan di Wansait, Kecamatan Waeapo, Pulau Buru,
Maluku, terancam rusak akibat aktivitas pendulangan emas. Kerusakan lingkungan
ini dikhawatirkan memicu bencana di pulau tersebut di masa mendatang. Sejumlah pohon
sengaja ditebang untuk kepentingan eksploitasi emas pendulang. Perbukitan itu
menjadi gundul. Pendulang menggali, bahkan membuat terowongan di bawah tanah
guna menambang emas meski mereka sadar hal itu membuat perbukitan menjadi rawan
longsor. Beberapa lubang digali sedalam 10-20 meter, sedangkan terowongan yang
dibuat bisa memanjang sampai 20-40 meter. Karena banyaknya pendulang, jarak
antara lubang satu dengan lubang lainnya sangat dekat, hanya 1 meter.
Semakin dalam ke bawah tanah, material emas yang ditemukan
bisa semakin banyak. Selain itu, sejumlah pengepul material emas menggunakan
air raksa untuk mengolah material menjadi emas. Air raksa itu lalu dibuang
begitu saja ke tanah. Ada pula yang dibuang ke aliran sumber air yang mengalir
ke hutan sagu, dan mengalir lagi ke Sungai Waetala. Aliran air dari Sungai
Waetala selama ini mengairi persawahan di Waeapo. Dalam beberapa dekade terakhir ini,
kerusakan ekosistem akibat tekanan manusia berlangsung lebih cepat dan lebih meluas
dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya didalam sejarah.
Dengan
menimbulkan gangguan pada lahan, pertambangan dapat memberikan dampak lokal dan
langsung yang cukup besar terhadap keanekaragaman hayati. Dampak-dampak
berskala luas dan tidak langsung juga dapat timbul akibat perubahan tataguna
lahan. Jenis limbah yang menjadi masalah utama dalam pertambangan emas secara
tradisional adalah limbah tambang yang disebut tailing. tailing adalah
sisa batuan bijih/mineral yang sudah diolah dan dibuang sebagai limbah
(Soehoed, 2005; Bapedal, 2001).
Bapedal
(2001) menyatakan batuan penutup terdiri dari tanah permukaan dan vegetasi. Batuan
limbah adalah batuan yang dipindahkan pada saat pembuatan terowongan, pembukaan
dan eksploitasi singkapan bijih serta batuan yang berada bersamaan dengan
singkapan bijih. Dampak lingkungan, sosial dan budaya pembangunan infrastruktur
kegiatan pertambangan dapat bersifat penting dan salah satunya dipengaruhi oleh
letak kawasan konsensi terhadap kawasan lindung dan habitat alamiah, sumber air
bersih dan badan air, pemukiman penduduk setempat dan tanah yang digunakan oleh
masyarakat adat.
Kusnoto
dan Kusumodirdjo (1995) dalam Qomariah (2003) menyatakan bahwa kegiatan
pertambangan selain meningkatkan pendapatan masyarakat, juga berdampak terhadap
lingkungan. Dampak yang timbul berupa penurunan produktivitas tanah; pemadatan
tanah; erosi dan sedimentasi; terganggunya flora dan fauna; terganggunya
keamanan dan kesehatan penduduk; dan terjadinya perubahan iklim mikro. Supardi
(2003) menyatakan bahwa pencemaran lingkungan sebagai akibat pengelolaan
pertambangan umumnya disebabkan oleh faktor kimia, fisik dan biologis.
Pencemaran lebih banyak terjadi di dalam lingkungan pertambangan daripada di
luar pertambangan. Keadaan tanah, air, dan udara setempat dari tambang
mempunyai pengaruh yang timbal balik dengan lingkungannya.
Masalah
yang berhubungan dengan sifat kimia tanah yang mungkin timbul
adalah
terangkatnya mineral tertentu seperti pirit (FeS2) yang dapat mengakibatkan
kemasaman tanah tinggi (Caruccio et al, 1981 dalam Qomariah, 2003).
Kondisi tanah yang masam dapat menyebabkan beberapa unsur logam tercuci menjadi
larut dan ke hilir areal tambang sehingga mencemari perairan dan lahan di
sekitar (Greene, 1988; Anonim, 1995 ; Anonim, 1999 dalam Qomariah, 2003).
Merkuri,
ditulis dengan simbol kimia Hg atau hydragyrum yang berarti “perak cair”
(liquid silver) adalah jenis logam
sangat berat yang berbentuk cair pada temperatur kamar, berwarna
putih-keperakan, memiliki sifat konduktor listrik yang cukup baik, tetapi
sebaliknya memiliki sifat konduktor panas yang kurang baik. Merkuri membeku
pada temperatur –38.9 oC dan mendidih pada temperatur 3570C
(Stwertka, 1998). Dengan karakteristik
demikian, merkuri sering dimanfaatkan untuk berbagai peralatan ilmiah, seperti
termometer, barometer, termostat, lampu fluorescent, obat-obatan, insektisida,
dsb.
Dampak
negatif pada lingkungan yang terkontaminasi merkuri sangat membahayakan
kehidupan manusia karena adanya rantai makanan. Jalur utama pajanan
metilmerkuri pada manusia adalah melalui konsumsi ikan (Barkay, 2005). Merkuri
terakumulasi dalam mikroorganisme yang hidup di air sungai, danau, dan
laut melalui
proses metabolisme. Bahan-bahan mengandung merkuri yang terbuang
ke dalam sungai
atau laut dimakan oleh mikroorganisme tersebut dan secara kimiawi
terubah menjadi
senyawa metilmerkuri. Mikroorganisme dimakan ikan sehingga metilmerkuri
terakumulasi dalam jaringan tubuh ikan. Ikan kecil menjadi rantai makanan ikan
besar dan akhirnya dikonsumsi oleh manusia. Berdasarkan penelitian,
konsentrasi
merkuri yang terakumulasi dalam tubuh ikan diperkirakan 40-50 ribu kali lipat
dibandingkan konsentrasi merkuri dalam air yang terkontaminasi (Stwertka,
1998).
Sifat
penting merkuri lainnya adalah kemampuannya untuk melarutkan logam lain dan
membentuk logam paduan (alloy) yang
dikenal sebagai amalgam. Emas dan perak adalah logam yang dapat terlarut dengan
merkuri, sehingga merkuri dipakai untuk mengikat emas dalam proses pengolahan
bijih sulfida mengandung emas (proses amalgamasi). Amalgam merkuri-emas
dipanaskan sehingga merkuri menguap meninggalkan logam emas dan campurannya.
Merkuri adalah unsur kimia sangat beracun (toxic).
Unsur ini dapat bercampur dengan enzyme didalam tubuh manusia menyebabkan
hilangnya kemampuan enzyme untuk bertindak sebagai katalisator untuk fungsi
tubuh yang penting. Logam Hg ini dapat terserap kedalam tubuh melalui saluran
pencernaan dan kulit. Karena sifat beracun dan cukup volatil, maka uap merkuri
sangat berbahaya jika terhisap, meskipun dalam jumlah yang sangat kecil.
Merkuri bersifat racun yang kumulatif, dalam arti sejumlah kecil merkuri yang terserap
dalam tubuh dalam jangka waktu lama akan menimbulkan bahaya. Bahaya penyakit
yang ditimbulkan oleh senyawa merkuri diantaranya adalah kerusakan rambut dan
gigi, hilang daya ingat dan terganggunya sistem syaraf.
Laporan
yang dikeluarkan oleh GMP (2007) menyatakan bahwa kandungan merkuri pada ikan
di sekitar area pertambangan emas rakyat di wilayah Kalimantan Tengah adalah
sekitar 0.09 sampai dengan 1.6 ppm. Beberapa penelitian yang dilakukan di Jambi
pada 1977, Kalimantan Barat (2000), Sulawesi Utara (2002), Jawa Barat (2003)
dan Palu, Sulawesi Tengah (2008, 2010) mengungkapkan konsentrasi merkuri yang
cukup tinggi di sungai, tanah dan ikan, menimbulkan pengaruh negatif terhadap
kesehatan masyarakat dan khususnya para penambang.
Pengaruh
toksisitas merkuri terhadap ikan dan biota perairan dapat bersifat lethal dan
sublethal. Pengaruh lethal menyebabkan gangguan pada saraf pusat
sehingga ikan tidak bergerak atau bernapas akibatnya cepat mati. Pengaruh sub
lethal
terjadi pada
organ-organ tubuh, menyebabkan kerusakan pada hati, mengurangi potensi untuk
berkembangbiak, pertumbuhan dan sebagainya. Selain itu pencemaran
perairan oleh
merkuri mempunyai pengaruh terhadap ekosistem setempat yang disebabkan oleh
sifatnya yang stabil dalam sedimen, kelarutannya yang rendah dalam air dan
kemudahannya diserap serta terakumulasi dalam jaringan tubuh organisme air
(Alfian, 2006).
Perairan
yang telah tercemar logam berat merkuri bukan hanya membahayakan
komunitas biota yang hidup dalam perairan tersebut, tetapi juga akan
membahayakan kesehatan manusia. Hal ini karena sifat logam berat yang persisten
pada lingkungan, bersifat toksik pada konsentrasi tinggi dan cenderung terakumulasi
pada biota (Kennish dalam Masriani, 2003). Merkuri terakumulasi dalam
mikro-organisme yang hidup di air (sungai, danau, laut) melalui proses
metabolisme. Bahan-bahan yang mengandung merkuri yang terbuang kedalam sungai
atau laut dimakan oleh mikro-organisme tersebut dan secara kimiawi terubah
menjadi senyawa methyl-merkuri. Mikro-organisme dimakan ikan sehingga
methyl-merkuri terakumulasi dalam jaringan tubuh ikan. Ikan kecil menjadi
rantai makanan ikan besar dan akhirnya dikonsumsi oleh manusia. Berdasarkan
penelitian, konsentrasi merkuri yang terakumulasi dalam tubuh ikan diperkirakan
40-50 ribu kali lipat dibandingkan konsentrasi merkuri dalam air yang
terkontaminasi (Stwertka, 1998). Oleh karenanya, usaha pengolahan emas dengan
menggunakan merkuri seharusnya tidak membuang limbahnya (tailing) kedalam
aliran sungai sehingga tidak terjadi kontaminasi merkuri pada lingkungan
disekitarnya, dan tailing yang mengandung merkuri harus ditempatkan secara
khusus dan ditangani secara hati-hati
Kasus
toksisitas metil merkuri pada manusia, baik anak maupun orang dewasa,
diberitakan besar-besaran pasca Perang Dunia ke-2 di Jepang, yang disebut “Minamata Disease”. Tragedi yang dikenal
dengan Penyakit Minamata, berdasarkan penelitian ditemukan penduduk di sekitar
kawasan tersebut memakan ikan yang berasal dari laut sekitar Teluk Minamata
yang mengandung merkuri yang berasal dari buangan sisa industri plastik
(Pervaneh dalam Alfian, 2006). Tragedi ini telah memakan korban lebih kurang
100 orang pada tahun 1953 sampai 1960. Dari korban ini ada yang meninggal atau
mengalami cacat seumur hidup (Hutabarat, 1985:198). Gejala keanehan mental dan
cacat syaraf mulai tampak terutama pada anak-anak.
Penyakit minamata adalah penyakit gangguan sistem
syaraf pusat yang disebabkan oleh keracunan metil merkuri. Tidak ditemukan
kerusakan pada organ lain kecuali pada sistem syaraf pusat (Martono, 2005). Sistem
syaraf pusat merupakan target organ dari toksisitas metil merkuri tersebut,
sehingga gejala yang terlihat erat hubungannya dengan kerusakan sistem syaraf
pusat. Gejala yang timbul adalah sebagai berikut:
1. Gangguan syaraf sensori:
paraesthesia, kepekaan menurun dan sulit menggerakkan jari tangan dan kaki,
penglihatan menyempit, daya pendengaran menurun, serta rasa nyeri pada lengan
dan paha.
2. Gangguan syaraf motorik: lemah,
sulit berdiri, mudah jatuh, ataksia, tremor, gerakan lambat dan sulit bicara.
3. Gangguan lain: gangguan mental,
sakit kepala dan hipersalivasi (Alfian, 2006).
D. Upaya Pencegahan Pencemaran Mercuri Dari Penambangan
Emas Tradisional.
Dari berbagai kajian konseptual terlihat bahwa
PESK tersebar merata di seluruh Indonesia dengan pola-pola yang hampir serupa,
yaitu penemuan lokasi mengandung emas yang diikuti hadirnya pendatang yang
memperkenalkan teknologi penambangan emas yang mudah, yaitu amalgamasi dan
pembakaran terbuka, tanpa memperhatikan dampak-dampaknya. Diperhatikan juga
adanya pola di mana masyarakat yang tadinya menolak tambang besar, setelah
adanya budaya tambang kecil menjadi lebih menerima terhadap tambang besar dan
segala dampaknya dari segi yang berbeda.
Pada dasarnya, usaha pertambangan pasti
menimbulkan dampak lingkungan. Penambangan emas skala kecil terkesan
menguntungkan bagi masyarakat, akan tetapi memiliki biaya yang lebih tinggi
daripada harga jualnya, baik dari segi kesehatan, kerusakan lingkungan maupun dampak
sosial. Bila pertambangan liar sampai melibatkan ribuan orang, aparat pun
kesulitan menertibkan karena telah menjadi kekuatan yang besar. Alternatif
terbaik bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan adalah pengalihan mata pencaharian
dari pertambangan ke bidang lain. Namun, dalam segala keterbatasan, seringkali upaya
penertiban baik lewat operasi maupun razia pendatang dan penyuluhan agar masyarakat
berpindah ke mata pencaharian lain hanya berhasil dalam jangka pendek. Karena
itu, tetap diperlukan upaya-upaya pengendalian baik dari segi pembatasan
distribusi merkuri maupun pembinaan yang mengarahkan pada teknik-teknik
penambangan alternatif. Dari segi penanggulangan dampak, kapasitas praktisi
kesehatan dalam menangani gejala keracunan serta melakukan penyuluhan perlu
ditingkatkan. Selain itu, riset mengenai remediasi lahan tercemar perlu dilanjutkan.
Berbagai metode non-merkuri telah tersedia
namun penerapannya tetap harus disesuaikan dengan karakteristik daerah. Solusi
yang ideal harus dilakukan dengan pendekatan membina penambang dan menjadikan
mereka belajar dari sesama penambang. Upaya itu disertai dengan kebijakan
pemerintah untuk menghapuskan pemakaian merkuri di penambangan emas. Diperlukan
sinergi bukan hanya dari tingkat Pemda atau KLH, tapi juga departemen-departemen
lain misalnya ESDM, Perdagangan, Kesehatan, Sosial dan Kesra. Penting diingat bahwa
solusi berupa legalisasi pertambangan harus dilakukan dengan hati-hati agar tak
bertentangan dengan undang-undang lain, khususnya mengenai kehutanan dan lingkungan
hidup.
Penanggulangan yang dapat diharapkan
adalah pemerintah setempat mengadakan pendekatan agar para pengelola atau ketua
kelompok PESK di arahkan untuk mengadakan semacam kegiatan berbentuk badan
hukum yaitu koperasi atau di arahkan untuk mendapatkan kemitraan usaha dengan
pengusaha bermodal besar atau investor. Dengan demikian keberadaan PESK adalah
bagian dari pengusaha besar sehingga keduanya bisa saling menguntungkan. Disamping
itu juga perlu dilakukan penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat tentang
pola-pola penambangan emas tradional yang ramah lingkungan serta tidak merusak
ekositem dan pencemaran lingkungan serta bahayanya kepada kesehatan masyarakat
dalam jangka panjang.
boleh minta daftar pustakanya ngga?
BalasHapus