Selasa, 05 Maret 2013

ELEGI DAMAI UNTUK PORTO-HARIA



Aku Termenung Di Bawah Mentari
Di Antara Megahnya Alam Ini
Menikmati Indahnya Kasih-Mu
Kurasakan Damainya Hatiku
(Damai bersamamu, Chrisye)
Orang yang melantunkan lirik di atas sudah tiada. Sudah berpulang ke haribaan dengan jiwa yang tenang. Chrisye namanya. Legenda musik Indonesia yang memiliki suara yang emas. Satu dari musisi terbaik Indonesia yang pernah ada pada zamannya.  Larik lagu di atas adalah satu dari sekian banyak lagu yang digemari seantero Indonesia. Crishye memang piawai melantunkan lagu-lagu yang umumnya elegi, seperti penggalan kalimat-kalimat pendek di atas. Larik-larik itu, ditemani barisan nada yang tenang dan tak miring, mengantarkan pendengarnya pada perenungan mendalam.
Sebuah lagu yang mampu menerobos semua batas-batas atas nama apapun. Semua orang menerima lagu itu sebagai sebuah perenungan tentang sosok yang tak kasat mata, yang transenden, yang tak terbahasakan, namun imanen dan menjadi bagian dari yang ada saat ini. Dengan cara apakah sosok itu harus dikagumi? Chrisye menjawabnya dengan jujur, tanpa tedeng aling-aling, mengagumi keindahan semesta ini adalah cara terbaik untuk mengenal sosok itu. Ia adalah keindahan itu sendiri dan karena keindahan alam ini lahir dari kemurahannya.
Crishye memang berhasil membuat lagu itu terdengar begitu memikat. Tapi sedikit saja orang yang akhirnya kagum pada sosok dibalik lahirnya lagu itu. Johny Sahilatua adalah sosok itu. Adik kandung musisi Franky Sahilatua yang telah berpulang. Lagu itu lahir dari seorang putra Maluku, tepatnya Saparua, yang merindu sebuah kedamaian. Saya menerka-nerka, mungkinkah Sahilatua takjub dengan keindahan dan kedamaian di Maluku? Saya tidak tahu persis.
Jelasnya, alam adalah pemberian dari Sang Pencipta. Kalau itu kita sepakati, tak ada cara yang paling baik selain menerima dan mensyukurinya. Apapun bentuk keindahan alam itu, ia adalah pemberian cuma-cuma tanpa label kepemilikan atas nama siapapun. Tidak untuk satu atau dua orang saja sumberdaya alam itu ada. Sehingga tak patut kita menjadikannya sebagai sumber masalah. Apalagi harus saling beradu nyawa.
Tak salah jika saya menggunakan larik-larik lagu yang diciptakan Sahilatua untuk mengingatkan masyarakat Porto dan Haria bahwa tak ada gunanya berkonflik. Anak kandung konflik adalah kehancuran dan dendam yang mendalam. Tak ada secuil pun keuntungan yang didapat, bahkan, untuk alasan kepemilikan alam sekalipun. Memulai konflik adalah sama dengan begitu banyak langkah mundur. Berjalan mundur meninggalkan kemajuan yang telah dicapai dengan mengucurkan keringat yang tak terbilang jumlahnya. Dan ketika tersadar, kita sudah jauh tertinggal di belakang. Saat itu, melangkah maju pun harus berjalan di atas tulang-belulang peninggalan kekerasan. 
Pernahkah kita bertanya, apa yang paling diinginkan anak-anak kita? Mereka hanya ingin bermain dengan aman atau berangkat ke sekolah tanpa rasa takut. Masa depan mereka bahkan masih sangat jauh. Bukan hal yang sulit jika kita ingin memberikan yang terbaik bagi mereka. Berdamai dan hidup tentram. Tanpa dendam atau curiga. Menikmati keindahan dan kemegahan alam ini tanpa saling beradu nyawa. Sebab, sudah seharusnyalah kita melakukan hal itu. Tak ada satu alasan pun yang dapat membenarkan bahwa menghilangkan nyawa orang lain adalah penting untuk menikmati alam ini. Tuhan tidak kikir ketika ia memberikan ikan yang melimpah di laut dan hutan yang penuh dengan berbagai kekayaan. Ia bahkan tidak pernah merasa rugi jika alam yang diciptakan-Nya dengan begitu indah harus dinikmati orang lain. Alam yang tak satupun manusia sanggup melakukan hal yang sama, bahkan dengan teknologi canggih sekalipun. Alam ini sudah ada, bahkan sejak kedua kaki kita belum menyentuh tanah, kedua bola mata kita belum mampu melihat matahari terbit di sebalah timur. Atau, menikmati siluet jingga di ufuk barat pada senja yang indah.
Sungguh tak adil jika kesengsaraan dan dendam yang harus kita wariskan pada anak cucu kita. Dan, bukan kedamaian di tengah kemegahan alam. Mungkin inilah yang sementara diperjuangkan Sahilatua ketika ia menciptakan lagu Damai Bersamamu. Mari melihat lagi arti dalam larik lagunya.
 Jangan biarkan damai ini pergi
Jangan biarkan semuanya berlalu
Hanya padamu Tuhan
Tempatku berteduh
dari semua kepalsuan dunia
Kedamaian adalah yang paling dirindukan semua orang di dunia ini, dan saya yakin masyarakat Porto-Haria pun merindukan hal yang sama. Tak kurang penjelasan secara lisan, kerinduan akan kedamaian pun akhirnya menyelinap dalam larik-larik yang terdengar lirih di atas. Tidak ada yang sulit jika saja kita mau membuka diri dan saling berbagi. Apapun, banyak hal yang sudah terjadi di Porto dan Haria.
Berharap pada penanganan hukum saja mungkin tak cukup. Pengadilan pun mungkin tak ada artinya, jika dendam masih membatu di dalam hati, jika amarah masih sama seperti gunung es yang sebentar saja akan muncul ke permukaan dan menyebabkan konflik baru. Kedamaian membutuhkan keikhlasan untuk saling memaafkan, menutup telinga dari berbagai provokasi dan melupakan semua yang telah terjadi. Nyawa sudah melayang. Harta benda banyak yang hancur. Tak harus ada lagi yang menjadi korban. Tak harus ada lagi harta yang hilang percuma.
Tak ada cara lain lagi selain menghentikan semua bentuk kekerasan dan hidup saling berdampingan satu sama lain. Basudara e e.. masyarakat Porto dan Haria..sampe jua. seng ada guna katong baku pukul. Mari katong baku ganden tangan. Ikan su barmeng rame di laut. Rumput su tinggi di kabong. Lebe bae katong pi cari ikan. Pi bikin barsih kabong par siap ana cucu pung masa depan.