Aku
Termenung Di Bawah Mentari
Di
Antara Megahnya Alam Ini
Menikmati
Indahnya Kasih-Mu
Kurasakan
Damainya Hatiku
(Damai bersamamu, Chrisye)
Orang yang
melantunkan lirik di atas sudah tiada. Sudah berpulang ke haribaan dengan jiwa
yang tenang. Chrisye namanya. Legenda musik Indonesia yang memiliki suara yang
emas. Satu dari musisi terbaik Indonesia yang pernah ada pada zamannya. Larik
lagu di atas adalah satu dari sekian banyak lagu yang digemari seantero
Indonesia. Crishye memang piawai melantunkan lagu-lagu yang umumnya elegi,
seperti penggalan kalimat-kalimat pendek di atas. Larik-larik itu, ditemani
barisan nada yang tenang dan tak miring, mengantarkan pendengarnya pada
perenungan mendalam.
Sebuah lagu yang
mampu menerobos semua batas-batas atas nama apapun. Semua orang menerima lagu
itu sebagai sebuah perenungan tentang sosok yang tak kasat mata, yang
transenden, yang tak terbahasakan, namun imanen dan menjadi bagian dari yang ada saat ini. Dengan cara apakah
sosok itu harus dikagumi? Chrisye menjawabnya dengan jujur, tanpa tedeng
aling-aling, mengagumi keindahan semesta ini adalah cara terbaik untuk mengenal
sosok itu. Ia adalah keindahan itu sendiri dan karena keindahan alam ini lahir dari kemurahannya.
Crishye memang
berhasil membuat lagu itu terdengar begitu memikat. Tapi sedikit saja orang yang akhirnya
kagum pada sosok dibalik lahirnya lagu itu. Johny Sahilatua adalah sosok itu.
Adik kandung musisi Franky Sahilatua yang telah berpulang. Lagu itu lahir dari
seorang putra Maluku, tepatnya Saparua, yang merindu sebuah kedamaian. Saya
menerka-nerka, mungkinkah Sahilatua takjub dengan keindahan dan kedamaian di
Maluku? Saya tidak tahu persis.
Jelasnya, alam adalah pemberian dari Sang Pencipta. Kalau itu kita sepakati, tak ada
cara yang paling baik selain menerima dan mensyukurinya. Apapun bentuk
keindahan alam itu, ia adalah pemberian cuma-cuma tanpa label kepemilikan atas nama siapapun. Tidak untuk
satu atau dua orang saja sumberdaya alam itu ada. Sehingga tak patut kita
menjadikannya sebagai sumber masalah. Apalagi harus
saling beradu nyawa.
Tak salah jika saya
menggunakan larik-larik lagu yang diciptakan Sahilatua untuk mengingatkan
masyarakat Porto dan Haria bahwa tak ada gunanya berkonflik. Anak kandung
konflik adalah kehancuran dan dendam yang mendalam. Tak ada secuil pun keuntungan yang didapat,
bahkan, untuk alasan kepemilikan
alam sekalipun. Memulai konflik adalah sama dengan begitu
banyak langkah mundur. Berjalan
mundur meninggalkan kemajuan yang telah dicapai dengan mengucurkan keringat
yang tak terbilang jumlahnya. Dan ketika
tersadar, kita sudah jauh tertinggal di belakang. Saat itu, melangkah maju pun
harus berjalan di atas tulang-belulang peninggalan kekerasan.
Pernahkah kita
bertanya, apa yang paling diinginkan anak-anak kita? Mereka hanya ingin bermain
dengan aman atau berangkat ke sekolah tanpa rasa takut. Masa depan mereka
bahkan masih sangat
jauh. Bukan hal yang sulit jika kita ingin memberikan
yang terbaik bagi mereka. Berdamai dan hidup tentram. Tanpa dendam atau curiga. Menikmati keindahan dan kemegahan alam ini tanpa
saling beradu nyawa. Sebab, sudah seharusnyalah kita melakukan hal itu. Tak ada
satu alasan pun yang dapat membenarkan bahwa menghilangkan nyawa orang lain
adalah penting untuk menikmati alam ini. Tuhan tidak kikir ketika ia memberikan
ikan yang melimpah di laut dan hutan yang penuh dengan
berbagai kekayaan. Ia bahkan tidak
pernah merasa rugi jika alam yang diciptakan-Nya dengan begitu indah
harus
dinikmati orang lain. Alam yang tak
satupun manusia sanggup melakukan hal yang sama, bahkan dengan teknologi canggih sekalipun. Alam
ini sudah ada, bahkan sejak kedua kaki kita belum menyentuh tanah, kedua bola
mata kita belum mampu melihat matahari terbit di sebalah timur.
Atau, menikmati siluet jingga di
ufuk barat pada senja yang indah.
Sungguh tak adil
jika kesengsaraan dan dendam yang harus kita wariskan pada anak cucu kita. Dan,
bukan kedamaian di tengah kemegahan alam. Mungkin inilah yang sementara
diperjuangkan Sahilatua ketika ia menciptakan lagu Damai Bersamamu. Mari melihat lagi arti dalam larik lagunya.
Jangan biarkan
damai ini pergi
Jangan biarkan semuanya berlalu
Hanya padamu Tuhan
Tempatku berteduh
dari semua kepalsuan dunia
Kedamaian adalah
yang paling dirindukan semua orang di dunia ini, dan saya yakin masyarakat
Porto-Haria pun merindukan hal yang sama. Tak kurang penjelasan secara lisan, kerinduan akan kedamaian pun akhirnya menyelinap dalam
larik-larik yang terdengar lirih di atas. Tidak ada yang sulit jika saja kita mau membuka diri dan
saling berbagi. Apapun, banyak hal yang sudah terjadi di Porto dan Haria.
Berharap pada
penanganan hukum saja mungkin tak cukup. Pengadilan pun mungkin tak ada artinya, jika dendam masih membatu di dalam hati, jika amarah masih sama seperti gunung es yang sebentar saja akan muncul ke
permukaan dan menyebabkan konflik baru. Kedamaian membutuhkan keikhlasan untuk
saling memaafkan, menutup telinga dari berbagai
provokasi dan melupakan semua yang telah terjadi. Nyawa sudah melayang. Harta benda banyak yang hancur.
Tak harus ada lagi yang menjadi korban. Tak harus ada lagi harta yang hilang
percuma.
Tak ada cara lain
lagi selain menghentikan semua bentuk kekerasan dan hidup saling berdampingan
satu sama lain. Basudara e e.. masyarakat Porto dan Haria..sampe jua. seng
ada guna katong baku pukul. Mari katong baku ganden tangan. Ikan su barmeng
rame di laut. Rumput su tinggi di kabong. Lebe bae katong pi cari ikan. Pi bikin
barsih kabong par siap ana cucu pung masa depan.